Selamat Datang

Selamat datang ....... di WILAYAH COOPERATION LINE ....... “Art Partner” : ....... Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial & Sastra – Cooperation Line of Art Partner ....... (KASSBSS – CLoAP).

Art Partner

Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial dan Sasrta
Cooperation line of Art Partner
KASSBSS - CLoAP

SALAM SENI

KASSBSS - Cloap adalah penghubung dari semua Seni, Sastra, Sosial, Budaya, IPTEK dll.
Bagi anda yang ingin berpartisipasi silakan kirimkan tulisan ataupun yang lainnya, biodata beserta photo ke email :

artpartner.kassbss.cloap@gmail.com

ART PARTNER

Rabu, 11 November 2009

Info : Lomba Blogger

KabarIndonesia -Dalam rangka menyambut hari ulang tahun Harian Online. KabarIndonesia (HOKI) yang ketiga pada tanggal 11 November 2009 yang akan datang ini, HOKI menyelenggarakan Lomba Blogger Terbaik.

Syarat dan Ketentuan : Klik aja sendiri ...

Ayo buktikan kreatifitas para Blogger Indonesia bersama Harian Online KabarIndonesia (HOKI)!!

Selamat Berlomba!!! Salam Blogger Panitia Lomba Blogger Memperingati HUT HOKI 2009
Blog: http://www.pewarta- kabarindonesia. blogspot. com/

Kamis, 24 September 2009

Prosa 2 dari Kavellania


Surat Kepada Luqman 2

Aku ingin bertanya pada awal surat keduaku ini padamu. Apa kabarmu hari ini Luqman? Maksudku apa kabarnya setelah kau membaca suratku kemarin? Ternyata kau masih saja membisu dan aku pun juga membisu. Kita sama-sama membisu bukan, Luqman? Padahal kerinduan telah dingin menyelimuti diriku sebesar minus derajat sekian. Dingin sekali Luqman, hingga aku membeku dan tak lagi menemukan mantel hangat pada kerinduan itu. Sampai kapan kau akan membiarkanku membeku seperti ini, menyiksaku dengan sayatan rindu pada lembar kisah yang telah memudar dulu.

Kumohon Luqman, lihatlah aku, tatap mataku. Apakah kau masih juga membisu sementara rasa cinta dan rindu itu sudah tak bisa kubendung lagi dalam binar mataku. Kumohon... jangan hadirkan hujan lagi di musim kemarau, jangan hadirkan salju lagi di musim gugur. Bernyanyilah untukku, Luqman. Jika kau masih ingin membisu, setidaknya nyanyian itu telah melunaskan dahagaku, Luqman.

Pada dua purnama tengah malam pernah kita lewati bersama dengan seputih tulusnya hati. Aku ingat itu Luqman. Saat aku masih saja terjaga pada malam yang akan segera menjemput pagi dan betapa penuhnya air menyelami pikiranku hingga terlalu sesakkan napasku karena aku tak bisa mengendalikan gelombangnya, kau selalu bersenandung dengan selayak merdunya kicauan burung hantu tengah malam. Suaramu telah membuaiku dan tanpa sadar aku mampu mengendalikan derasnya gelombang dalam pikiranku hingga aku dapat segera menuju alam impian dengan nyenyaknya.

Tanpa sadar roda waktu yang berputar telah membuatku merajut benang suaramu hingga menjadi permandani nada yang begitu indah untuk selalu kudengar. Aku bergantung pada permandani nada itu ketika akan beranjak ke negeri impian.

Ketahuilah Luqman, nyanyian dua purnama itu bagai desir angin sepoi di pantai. Melenakan, memanjakan hingga kuterbuai dalam suara semu. Begitu sejuk dan nyaman. Sekarang aku justru menderita kehilangan suaramu dan hanya bisa menatap kebisuanmu dengan sayatan-sayatan pilu.

Ingatkah Luqman, kau pernah menawarkan mawar putih untuk kau petik kemudian kau berikan kepadaku sebagai tanda jika kau tahu bahwa mawar putih adalah bunga favoritku. Sama seperti kau pernah menuangkan tinta biru ke dalam lukisan tak bernyawa pada kanvas dua purnama itu. Namun hingga tujuh purnama telah berlalu, aku hanya menatap taman bunga, dimana taman bunga itu ada berbagai jenis mawar terutama mawar putih. Tapi aku tak pernah memetiknya karena aku menunggumu untuk memetik mawar putih itu untukku seperti yang pernah kau janjikan. Luqman, suatu saat aku akan menagih mawar putih yang pernah kau janjikan padaku, tapi aku tunggu saat yang tepat, entah kapan, Luqman. Mungkin saat kau tak lagi membisu dan tak lagi berkata bahwa diam adalah bahasa yang indah.

Mendadak hatiku teriris Luqman, menangkap sebuah isyarat darimu, isyarat yang pada dasarnya tak ingin aku ketahui karena sekarang aku menjaga kotak kaca itu agar tidak pecah kembali lagi karenamu. Kau berisyarat bahwa cinta kita bukanlah membatu atau membisu tapi ia hanya mengkristal agar tak jadi virus yang mematikan dan siap menggerogoti tiap inti sel hingga rapuh. Lantas, aku ingin bertanya padamu, apa bedanya mengkristal dan membatu? Kurasa keduanya memiliki makna yang hampir sama meskipun berbeda penafsiran karena kedua benda itu sebetulnya memang berbeda. Aku sadar Luqman, cinta kita sudah tak ada artinya lagi untuk ditimbulkan kembali.

Aku terus berjalan menelusuri malam tanpa batas, menatap purnama yang telah meredup sejak entah. Aku menatap kanvas lembar kisah memudar itu diantara kepekatan malam dengan bersembunyi di balik dinginnya hembusan angin. Dari kejauhan aku melihatmu, Luqman. Melihatmu sedang menghapus tinta itu dengan wajah yang penuh amarah bahkan kamu menusuk lukisan itu hingga mengeluarkan darah segar dan kamu mereguk dengan penuh kenikmatan dalam amarahmu. Setelah itu kau membakarnya hingga menjadi abu berterbangan tanpa sisa sedikit pun.

Aku hanya bisa menatapmu meski aku tak terima kamu melakukan itu. Aku marah Luqman, ketika kamu memandang murah harga lukisan itu, ketika kamu tak memikirkan lagi bagaimana tersayatnya hatiku dan betapa banyak butiran-butiran mutiara keluar dari mataku. Sungguh aku tak terima kamu melakukan itu.

Jika dalam diammu, dalam kebisuanmu, dan dalam alam pikiranmu adalah karena kamu tak pernah mencintaiku, lebih tepatnya cinta kita memang tak pernah ada. Mengapa kau tak mengatakan itu dari awal, Luqman. Bukankah aku sudah bilang berkali-kali bahwa duri itu sudah sangat sering menusukku, bahwa cermin itu sudah sering pecah dan aku bukan seorang perempuan yang lemah seperti yang kamu kira. Kamu tak perlu mengatas namakan agama, mengatas namakan prinsip kalau alasan sebenarnya adalah sama sekali tak ada cinta untukku. Itu namanya kamu munafik dan sama seperti kamu hidup dengan penuh kebohongan. Maka itu aku katakan diammu bukanlah bahasa yang indah.

Dalam amarahmu yang tak terkendali, aku ingat betul kamu menyinggung prinsip hidupku, kedewasaanku, lantas tahu apa kamu dengan apa yang aku jalani. Kenyataannya kamu sudah tidak bisa membuat aku tersenyum kembali, kenyataannya kamu sudah tak bisa menjadi rumah yang selalu aku singgah untuk kembali pulang.

Hidup tanpa harapan bukanlah hidup!

Kamu tertawakan seolah-olah aku ini tak pernah berharap pada Tuhan. Hey, Tuhan adalah harapan terbaikku tapi bukan berarti aku cuma bisa diam menunggu Tuhan menciptakan harapan-harapan untukku. Kamu tahu Luqman, aku tak pernah menjatuhkan harga lukisan semurah itu untukmu di hadapan mereka. Harga lukisan itu terlalu mahal bahkan untuk aku jual kepada miliyuner sekali pun.

Aku sangat benci kebohongan, Luqman. Apalagi setelah angin membawamu pergi karena aku sudah muak dengan semuanya. Hembusan firasat datang kepadaku. Pertanda bahwa angin membawamu pergi bersama kelopak bunga. Aku mendengar senandungmu bersama kelopak bunga itu, kelopak yang selalu kusirami dan kujaga agar tak layu ketika ia berkembang hingga menjadi bunga yang cantik.

Ini surat terakhirku untukmu, Luqman dan aku tak pernah ingin kamu membacanya. Kalaupun kamu membacanya, percuma saja kamu menyiramiku dengan amarah karena saat itu aku sudah menghilang dari kehidupanmu dan membuka lembaran kehidupanku dengan berdamai pada hatiku yang telah bersih dari pecahan-pecahan cermin.

Untukmu Luqman, kata maaf sudah sangat mahal kujual kepadamu dan untukmu kelopak bunga, aku tak akan pernah lagi menjagamu agar tak layu, cukup sampai di sini saja karena kelak diriku adalah orang lain bagimu.

Akhirnya aku dapat menyadari kita tidak ditakdirkan untuk bersama

Jakarta, 14 Juli 2009
11.02 PM

kissing you goodbye
starting a new life
now I know that finally i'm done and through with you
You are not the one who can give me all
kissing you goodbye
no more needs to try
now i know exactly what i wanna do in my life
you will not be there
`cause we have nothing more to share
(Kissing You Goodbye - Jesse McCartney)


Minggu, 06 September 2009

Prosa 1 dari Kavellania


Surat Kepada Luqman

Luqman, telah kuterima dan kubaca puisimu dengan untaian kata yang mampu menyihir hatiku menjadi rapuh, serapuh tongkat yang menyebabkan Sulaiman menghembuskan napas terakhirnya akibat termakan rayap. Untung saja aku bukan tongkat, aku masih mampu bertahan dalam kerapuhanku karena setiap bait pada puisi itu tersimpan secuil kehangatan selayak mantel pada musim dingin di Negeri Sakura. Tahukah Luqman, kehangatan itu telah membuaiku ke dalam harapan, padahal begitu takutnya aku memiliki harapan yang nantinya akan membuatku tersayat kembali karena kamu.


Pada pertengahan bait itu, kamu bercerita tentang kita dan lukisan-lukisan malam yang selalu kita tuangkan dengan kuas dan tinta berwarna biru ke dalam lembar kisah yang sempat memudar dulu. Aku terkesima Luqman, ternyata kamu masih menyimpan lukisan pada dua purnama itu bahkan kamu masih mengingatnya. Sayang sekali, aku tak tahu apakah kamu masih ingin kembali melanjutkan torehan tinta lukisan itu dengan warna selain biru atau mungkin kamu tak ingin melanjutkan lagi karena hatiku dan hatimu telah terluka akibat dari pudarnya lembaran kisah pada lukisan itu.


Luqman, dalam puisi itu kamu berkata bahwa sudah tujuh purnama telah kita lewati tanpa melukis lembaran lusuh itu dan kamu memiliki keinginan untuk mengembalikan binar cinta dalam cahaya mataku. Ketahuilah Luqman, tanpa keinginan pun cinta itu masih bercahaya dalam mataku, bahkan masih bersemayam dan tak jua mau pergi dari kotak kaca hatiku. Sebuah cinta yang dalam kotak kaca telah berproses menjadi sebentuk cermin indah untukku melangkah pada putaran roda-roda kehidupanku kelak. Walau indah tapi ketika cermin itu pecah, sungguh Luqman sakit sekali seolah hampir seluruh tubuhku tertusuk pecahan-pecahannya. Dan saat aku tak mampu lagi menahan perihnya goresan tusukan itu, aku hanya bisa mengeluarkan bulir-bulir kaca mencair dari mataku ini. Kamu tidak tahu kan Luqman tentang itu, karena aku tak ingin kamu tahu. Aku hanya ingin bahwa aku baik-baik saja di matamu dan ketika aku kembali melihat kamu tersenyum, maka itulah penawar dahagaku atas goresan pecahan cermin itu.


Aku tahu kamu bukanlah pujangga yang hanya menjejakan kaki sesaat lalu kemudian pergi tanpa bekas seperti mereka. Aku sadar itu Luqman, bahwa kamu tidak pernah benar-benar pergi meninggalkanku tetapi kenapa aku selalu merasa bahwa kamu telah meninggalkan aku. Kenapa Luqman? Apakah kamu sesungguhnya memang benar-benar pergi atau hanya cintamu yang telah pergi meninggalkan bekas dan hanya ragamu saja yang ada di sisiku untuk menyenangkanku dan membuktikan bahwa kamu tidak benar-benar pergi.


Kamu pergi atau aku yang terluka tanpa kepastian bahwa aku benar-benar dicintai olehmu, Luqman. Aku tak tahu mana yang benar dari keduanya itu. Kadang aku berpikir kenapa harus kamu yang menjadi cermin aku untuk melangkah, kenapa harus kamu yang memberikanku terjemahan lagu favoritku First Love hingga akhirnya aku benar-benar seperti ada dalam lagu itu.


Aku akan ingat bagaimana mencintai seperti yang kau ajarkan kepadaku


Aku menemukan kenyamanan layaknya di rumahku sendiri, lebih tepatnya di kamarku sendiri ketika aku ada bersamamu. Hingga waktu sehari pun kurasa terlalu sempit karena kita selalu saja tak pernah kehilangan topik bahasan apapun. Luqman, kamu adalah tempatku pulang ketika aku resah dan kehilangan arah. Sadarkah Luqman, bahwa aku punya alasan mengapa harus kamu dan aku yakin kamu juga tahu apa alasannya. Kuat sekali alasannya.


Namun kamu selalu saja mematahkan alasan itu, kamu selalu saja membiarkanku bersama mereka, mereka yang kamu sebut pujangga lalu pergi begitu saja tanpa jejak. Padahal kamu sendiri sadar bahwa mereka tidak akan pernah bisa senyaman ketika aku bersamamu. Kenapa kamu bilang padaku bahwa mereka benar-benar akan tercipta untukku dan pada akhirnya kamu berkata bahwa mereka hanya sekedar pujangga. Aku terluka Luqman, aku tersayat. Sadarkah kamu?


Atas dasar itu aku memutuskan untuk membisu, membisu dalam mencintaimu dan menikmati sayatan-sayatan cermin yang telah hancur, mereguk manis darahnya, karena ternyata aku takkan pernah bisa memutilasi rasa cintaku padamu. Aku benci Luqman tapi aku kini hanya bisa diam dan terpaksa menyetujui filosofimu bahwa diam adalah bahasa yang indah


cukup ini saja” Jika itu memang cukup bagimu maka cukup bagiku untuk mempertanyakan apakah cinta itu telah berubah menjadi batu, batu yang dengan mudah kamu lemparkan ke laut untuk kemudian takkan pernah kembali ke darat. Toh kamu tak ingin mengetahui bukan bagaimana kabar cinta diantara kita? Membisu atau membatu?


Luqman, ini satu dari sekian banyak karena tak pernah kutemukan lagi inspirasi sesempurna dirimu.


Cirebon pada awal Juli 2009


‘Cause I miss you, body and soul so strong that it takes my breath away

And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today

‘Cause I love you, whether it’s wrong or right

And though I can’t be with you tonight

You know my heart is by your side

(If You’re Not The One – Daniel Bedingfiel)

Cerpen 1 dari Kavellania


Dilema Dalam Penyesalan

“Aku mau ke rumahmu.” Pinta Hasan dalam percakapan ponsel kami saat itu.

Tiba-tiba saja dia menghubungiku di sela-sela kesibukanku mengedit naskah yang menggunung. Harusnya dia tahu diri sedikit, dong! Ini kan masih jam kerja di Indonesia. Tapi Hasan tetaplah Hasan, sahabat kecilku yang tidak pernah peduli soal waktu untuk berbicara denganku. Aku ingat, pernah dia mengajakku bermain tengah hari bolong saat aku seharusnya tidur siang. Tentu saja orang tuaku menegur. Tapi Hasan hanya nyengir polos.

Aku menghela napas.

“Apa?” ulangku, “ngak denger! Sibuk banget, nih!” Balasku susah payah berusaha menjaga konsentrasi dengan hanya bekerja satu tangan, sementara tanganku yang lain menahan ponsel.

“Aku mau ke rumahmu sekarang, Mel.” Jawab Hasan sedikit mengeraskan suaranya.

Jawaban Hasan tadi spontan membuatku menghentikan kesibukanku sejenak.

“Serius? Kamu emang udah di Jakarta, ya?” Tanyaku masih tak yakin. Harusnya Hasan masih ada di Ishikawa sekarang. Setahuku dia akan kembali ke Jakarta pertengahan Agustus nanti. Bagaimana mungkin, sementara hari ini masih hari terakhir di bulan Juli.

“Iya, aku sudah ada di Jakarta. Baru aja keluar bandara, terus mau langsung ke rumahmu. Numpang istirahat hehehe.” Kudengar dia tertawa renyah.

Aku mendesah napas kesal. “Jangan ke rumahku ah, kamu nginep di hotel aja gih. Rumahku kecil, nggak muat kalo ditumpangin tidur sama kamu.”

“Jutek amat,” protesnya, ‘nggak kangen gitu sama aku?”

Sungguh aku sangat merindukan suaranya. Tidak, lebih dari itu, aku merindukan semua yang ada dalam diri Hasan. Kedewasaannya, keterbukaannya, ketenangannya, dan keteduhan ketika dia menatapku tapi aku sebal dengan caranya yang tiba-tiba seperti ini. Mana kerjaan numpuk lagi.

“Nggak tuh. Suruh siapa kamu nggak kasih kabar dulu kalo kamu mau pulang, heh! Bilangnya pertengahan Agustus, emang hari ini dah bulan Agustus, ya.” Cerocosku sambil garuk-garuk kepada yang tak terasa gatal sama sekali.

“Yaa.. maaf atuh. Nggak maksud gitu kok. Aku juga nggak nyangka kepulanganku bakal dipercepat dan kamu tahu nggak, keluargaku di Bandung juga belum ada yang tahu kalau aku udah pulang.” Hasan menjelaskan.

“Ohhh…” Gumamku datar sambil memeriksa beberapa berkas naskah yang harus kuedit. Sebenarnya, aku senang Hasan pulang lebih awal dari yang diperkirakan. Tapi salahnya sendiri, mengapa dia datang saat kerjaanku menumpuk. Tentu saja dia akan menjadi muntahan emosiku yang terpendam.

“Jadi boleh ya, aku numpang tidur di rumahmu, cuma semalam aja kok.” Pintanya terdengar memelas.

“Nggak boleh titik!!!” Klik, aku mematikan ponsel sepihak dan kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Semenit kemudian kudengar ada pesan singkat masuk dari ponselku, aku membiarkannya tapi bunyi miss call berkali-kali cukup mengganggu. Aku tahu itu dari Hasan. Akhirnya aku memilih membuka pesan singkat itu, ketimbang aku harus terus diganggu dengan suara ponsel tak penting.

Oke aku akan menginap di hotel tapi nanti sore aku tunggu kamu di tempat biasa kita ketemu. Kalo kamu nggak datang, jangan harap bisa ketemu sama aku lagi! Tunggu, enaknya di hotel mana ya?

Aku tersenyum geli menatap pesan singkat itu. Menurutku, ancaman aneh. Aku bisa jamin Hasan tidak akan bisa untuk tak bertemu lagi denganku. Hasan tidak pernah berubah, lebih tepatnya, kami memang tidak pernah berubah. Selalu saja perdebatan dan pertengkaran menjadi agenda komunikasi kami. Padahal aku sadar, kami sudah sama-sama dewasa, sudah tak sepantasnya bertengkar dan berdebat seperti anak kecil. Hanya saja aku sudah terlanjur merasa nyaman untuk menumpahkan emosiku kepada Hasan.

Hasan adalah sahabatku sejak kecil. Dulu, saat kami masih tinggal satu komplek, kami selalu bermain layang-layang bersama di lapangan luas dan aku suka sekali ikutan main sepak bola bersama Hasan. Aku ingat, dia sering sekali mengejekku bahwa anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang apalagi main sepak bola. Kalau sudah begitu, aku pasti marah sama Hasan dan bilang apa bedanya mainan anak perempuan dan anak laki-laki toh sama-sama mainan yang harus dimainkan. Lalu aku langsung pulang ke rumah dan bertekad untuk tidak bermain lagi dengan Hasan.

Beberapa hari kemudian Hasan ke rumahku dan minta maaf lalu mengajakku bermain lagi tapi sayang, walau sudah baikan, kami tetap berdebat dan bertengkar bahkan hal sekecil apapun bisa jadi pemicu pertengkaran kami. Itu semua kebawa sampai kami dewasa.

Pasti aku datang menemui Hasan. Peduli amat dengan pekerjaanku yang menumpuk. Nanti bisa kuselesaikan di rumah. Hebat, seorang Hasan bisa menggagalkan rencana lemburku. Aku tersenyum miris dan langsung membalas pesan singkat darinya untuk merekomendasikan hotel tempat dia menginap dengan asal.

Dari kejauhan aku melihat Hasan sudah duduk di pojok kafe dan sibuk dengan laptopnya. Di meja, sudah ada secangkir cappuccino hangat menemaninya. Aku tersenyum lega menatapnya. Semakin tampan saja dengan kulit putih bersih, rambut pendek, dan balutan kaos berkerah membuatnya terlihat bersinar di mataku.

Sudah enam tahun aku tidak bertemu dengannya, terhitung sejak dia memutuskan untuk kuliah di Jepang dan bekerja di sana. Meski pun tinggal beda negara tapi aku tidak pernah merasa jauh dari Hasan. Kami selalu berkomunikasi melalui media internet. Sesekali Hasan meneleponku.

Aku langsung menghampirinya. “Maaf ya, nunggu lama. Aku sedang banyak kerjaan di kantor.” Kataku sambil duduk di kursi berhadapan dengannya.

“Ehm…” Dia hanya berdehem tanpa menoleh sedikit pun dari laptopnya.

Jelas saja aku sebal dengan sambutannya. Tahu gini, lebih baik lembur daripada bertemu dengan orang menyebalkan seperti Hasan.

“Aku pulang deh.” Kataku sambil beranjak dari kursi.

Hasan langsung menatapku sambil tersenyum nakal. Senyum yang menyebalkan menurutku. “Nggak boleh, aku sudah memesankan es krim kesukaan kamu, masa kamu mau pulang sih. Yaa… rugi dong aku.”

Aku tersenyum mendengar kata ”es krim” itu. Tak menyangka Hasan masih ingat kesukaanku.

“Nyengir,” hardiknya, “duduk lagi atuh, sebentar lagi juga es krimnya datang kok.”

Aku langsung duduk. “Tapi kamu jangan mainin laptop dong. Buat apa coba aku ada di sini kalau kamu masih pacaran sama laptopmu.” Gerutuku.

“Iya maaf, abis kamu lama sih datangnya. Sudah satu jam aku di sini.” Keluhnya sambil memasukan laptop ke dalam tasnya.

Tak lama pesanan es krim datang dan aku menikmati es krim. Rasa dinginnya mampu melunturkan setengah rasa lelah dan penatku akan pekerjaan.

“Dua minggu lagi aku akan menikah.” Katanya datar.

Aku menghentikan kesibukanku menyantap es krim lalu menatapnya. Dari sorot matanya, sama sekali tidak kutemukan kebahagiaan walau setitik. “Secepat itu?”

Dia hanya mengangguk. "Aku tidak mencintai calonku tapi aku berjanji akan menikahinya." Jawab Hasan.

Semua terdengar biasa saja bagiku. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa bahagia apalagi kecewa. Padahal aku tidak ingin Hasan tidak bahagia atas pernikahannya nanti.

"Terus bagaimana kamu akan bahagia?" Tanyaku.

"Dan bagaimana kamu akan bahagia dengan status palsumu?" Dia balik bertanya sementara aku hanya bisa diam.

Aku tersentak dengan pertanyaan Hasan barusan. Aku sendiri tidak mengerti hubungan macam apa yang sedang aku jalani bersama Teguh. Bersama Teguh aku berharap bisa mendapat kenyamanan selayaknya seseorang yang dicintai. Sayang sekali yang kuharapkan ternyata keliru. Teguh sendiri sepertinya tidak mencintaiku dan aku melihat gelagatnya bahwa hubunganku dengannya adalah status palsu baginya.

Padahal aku merasa bahwa tak ada cinta untuk Teguh dari diriku tapi kenapa hati ini sakit sekali. Aku tahu dan aku sadar bahwa aku tak bahagia bersamaya, mungkin Teguh juga tak bahagia bersamaku. Lalu kenapa aku dan Teguh masih bersama? Sungguh aku tak mengerti.

Menikmati segelas es krim rasa chocho vanila lebih baik ketimbang harus menjawab pertanyaan Hasan barusan. Menjawabnya adalah sebuah dilema karena aku dan Hasan memiliki nasib yang sama. Tak ada yang lebih indah dari sebuah hubungan tanpa cinta, yang ada hanya komitmen sebatas kewajiban untuk menepati janji.

“Kenapa nggak dijawab?” Hasan mendesakku.

Aku menelan es krim tanpa bisa menikmatinya lagi. “Tak ada yang perlu dijawab. Kurasa tiap orang punya cara tersendiri untuk bahagia.” Kataku sambil mengaduk-aduk gelas es krim.

“Apa bersama Teguh adalah caramu untuk bahagia sementara dia sama sekali nggak bisa bikin kamu bahagia,” Hasan menatapku tajam, sementara aku balas tatapannya dengan sayu tanpa bisa berkata apapun, “kebahagiaan macam apa yang kamu cari?!” Dia mulai sedikit meninggikan nada suaranya.

“Aku bahagia bersama Teguh!” Tegasku sambil menatapnya tajam. Emosiku kepancing dan sudah bisa dipastikan perdebatan dianatara kami akan terjadi lagi.

“Bagaimana kamu bisa bahagia dengan Teguh, sementara saat kamu sedih, susah, senang, marah dan resah, pasti aku yang kamu cari duluan. Walau selama enam tahun ini jarak kita jauh tapi kamu tetap saja mencari aku meski dalam dunia maya sekali pun,” kali ini mulai ada penekanan dalam nadanya, “bukan Teguh…” Lirihnya.

Kurasakan ada sesuatu yang tergenang dari pelupuk mataku. Aku akui, apapun yang terjadi pada diriku baik dulu sampai sekarang, yang kucari pasti Hasan. Namun aku tak tahu kenapa harus Hasan. Semua mengalir begitu saja, semacam ketergantungan. Hasan selalu membuatku merasa nyaman ketika aku menumpahkan berbagai jenis emosiku, Hasan selalu membuatku merasa teduh dengan sorot matanya. Tapi kurasa ini hanya semacam perasaan nyaman kepada sahabat, tak lebih dari itu.

“Bahkan aku rela menikahi orang yang nggak aku cinta sama sekali, supaya bisa melihat kamu selalu bahagia bersama siapapun itu nantinya…”

“Supaya aku nggak mencari kamu lagi!” Aku memotong pembicaraannya dan menatapnya tajam sambil menahan agar air mataku tidak jatuh.

“Bukan begitu maksudku.” Hasan mengelak.

Aku sudah terlanjur emosi dan tak dapat lagi mengendalikannya. Aku langsung beranjak. “Aku pulang.”

Namun baru beberapa langkah aku berjalan, Hasan menarik lenganku dan membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Untung saja keadaan kafe sedang sepi pengunjung, jadi tak begitu banyak orang yang memperhatikan kami.

Hangat. Itu yang pertama kali kurasakan ketika ada di dalam pelukannya. Kenyaman yang selama ini aku cari ada dalam pelukannya. Aku menumpahkan tangisanku di dadanya. Bahkan aku tak mampu berkata apa-apa selain menangis.

“Aku jatuh cinta padamu sejak kecil, tapi aku sering mengutuk diriku sendiri karena lebih sering buat kamu marah dan nangis. Aku nggak yakin bisa membahagiakan kamu.” Dengan lembut Hasan berkata.

Dalam pelukannya aku bisa merasakan debaran jantungnya lebih cepat dari detak jantung normal. Kurasakan aliran air mataku semakin deras. Apa itu tandanya aku juga mencintainya. Tidak, ini tak boleh terjadi. Aku langsung melepaskan pelukannya dan menyeka air mataku hingga mengering.

“Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan calonmu?” Sebenarnya tak perlu lagi kutanyakan karena aku sudah tahu jawabannya. Bukankah selama ini Hasan sering curhat padaku.

“Dua tahun.”

“Menikahlah dengan dia dan jangan pernah mencintaiku lagi karena aku nggak mungkin mencintaimu.” Entahlah mengapa jantungku seolah ditikam pisau paling tajam ketika aku mengatakannya. Aku tahan rasa sakitku demi kenormalan hidup. Apapun itu, tak pernah terbesit sedikit pun dariku untuk menggagalkan pernikahan orang lain, apalagi pernikahan sahabatku sendiri, sekalipun demi kebahagiaanku.

Menggagalkannya adalah mengecewakan banyak orang. Mengecewakan satu orang saja aku akan merasa sangat bersalah, apalagi mengecewakan banyak orang, mungkin itu akan menjadi beban terberat dalam hidupku.

“Tapi…”

“Aku pulang.” Potongku dan pergi meninggalkan Hasan dengan derai air mata dan rasa sakit yang tak bisa lagi kutahan.

* * *

Gadis kecil itu menangis karena layanga-layangnya nyangkut di pohon. Padahal ia sedang mengenakan rok, jadi tak mungkin ia memanjat pohon itu sementara banyak sekali anak laki-laki yang sedang bermain layang-layang. Ia terus menangis karena tak ada satu pun temannya yang peduli dan mau menolongnya.

“Biar aku yang mengambilnya. Kamu jangan nangis lagi, ya.” Selalu saja anak laki-laki itu yang menjadi pahlawan untuknya, gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum.

“Setelah kuambil layangannya, kamu harus pulang. Tidak ada anak perempuan di sini.” Pintanya.

Namun anak laki-laki itu tak pernah muncul lagi membawa layang-layangnya. Padahal hari sudah semakin sore. Gadis kecil itu pun menghampiri pohon itu namun dia tidak menemukan apa-apa di sana. Tidak layang-layang, tidak juga anak laki-laki yang selalu menolongnya.

Ada genangan air mata ketika aku terbangun dari mimpiku, mimpi masa kecil yang indah bersama Hasan. Aku menghapus air mataku, tak ada waktu untuk memikirkan apa pun termasuk mimpi barusan, aku harus segera ke kantor lalu aku langsung beranjak ke kamar mandi yang ada dalam kamarku.

Kucuran air dari shower tak lagi kurasa sejuk. Entahlah, jantungku berdebar keras dan cepat. Seperti ada sesuatu tapi aku berusaha untuk tidak ambil pusing. Namun ada semacam suara dari dalam hatiku yang mendesak aku untuk mengakui bahwa sebenarnya aku mencintai Hasan.

Lagi-lagi air mataku keluar dengan derasnya diantara buny gemerisik air shower. Aku menangis mengingat kejadian kemarin, saat aku dan Hasan bertemu. Masih kurasakan pelukannya begitu hangat dan membuatku merasa nyaman, ketika aku melepas pelukan itu ada rasa gusar yang sulit aku terjemahkan apa maksud dari rasa gusar itu.

Bagaimana mungkin aku mengungkapkan sesuatu yang terlambat kepada Hasan, bagaimana dengan prinsip kenormalan hidup yang selama ini aku pegang, bagaimana dengan Teguh, dengan calonnya Hasan itu. Tidak adakah cara lain untuk menjadi bahagia tanpa menyakiti atau mengecewakan satu orang pun.

Kali ini mungkin aku harus menomorsatukan egoku. Aku dan Hasan saling mencintai, kalau cinta sudah ada diantara kami, maka tak ada alasan apapun yang bisa mencegah kami untuk bersama sekalipun harus mengorbankan kebahagiaan orang lain.

Selesai mandi, masih dengan memakai baju handuk kimono, aku langsung mengambil telepon wriless untuk menelepon Hasan. Aku sudah bertekad mengungkapkan semuanya karena sesungguhnya aku tak rela Hasan akhirnya menikah dengan orang lain dan aku tak rela Hasan tidak bahagia dengan pernikahannya nanti.

Berkali-kali aku telepon namun ponselnya tidak aktif. Tidak biasanya Hasan mematikan ponsel, kalau pun sedang sibuk dia hanya mematikan nadanya saja. Aku kesal sendiri. Tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada berita di televisi tentang hotel yang baru saja di bom oleh teroris di kawasan Kuningan dan aku mendadak histeris ketika membaca nama salah satu korban yang tewas dalam peristiwa itu. Hasan Kamal.

Mama sampai masuk ke kamar mendengar histerisku menyebut nama Hasan. Mama memelukku sementara aku merasa semakin lemas.

Ada apa, Mela?” Tanya Mama berusaha menenangkanku dalam pelukannya.

Aku hanya bisa menunjuk televisi dengan lemas tanpa mampu berkata apa-apa sambil menangis.

“Hasan…” Lirih mama.

Aku mengangguk lemah sambil melepaskan pelukan mama, menutup mulutku dengan tangan kanan. Berusaha menenangkan diriku.

“Seandainya aku mengijinkannya untuk menginap di rumah, seandainya aku gak menjawab rekomendasi hotel dengan asal, mungkin….” kataku terbata-bata mengungkapkan penyesalanku, “mungkin Hasan masih ada di sini, sarapan bersama kita, Ma…” Lanjutku dan tangisan penyesalanku pecah. Dalan hati aku tetap menyalahkan diriku sendiri. Mama memelukku lagi dengan erat.

Setelah pertemuan kami di kafe itu, aku tak pernah bisa melihatnya lagi. Kalau saja waktu masih bisa berputar kembali, akankah Hasan juga akan kembali menemaniku di sini? Bahkan sampai saat ini aku merasa Hasan masih hidup. Aku selalu termangu di depan laptopku jika malam tiba. Menunggu id Yahoo messenger-nya online, seperti malam-malam sebelumnya, namun dia tak pernah lagi terlihat online.

Jakarta, 2 Agustus 2009

Kamis, 03 September 2009

Edisi Ramadhan - Puisi Photo untuk Rangkai Bunga Bulan Ramadhan

Edisi Ramadhan - Puisi dari ARAska & Translated dari Bunda Diha


Rangkai Bunga Bulan Ramadhan

[untuk bunda Diha]

seribu bunga bertabur ditanganmu bunda
wanginya kau usap dalam do’a untuk nanda
dari seberang lautan nanda menanti sapa lembutmu
besarkan hati dalam prahara hidup
ketulusan bunda goncangkan langit
hingga dewi bulan tersedu haru
arak arakan mega mengiringi khusu

wahai bunda suluh langkahku
bintang bintang sambut senyummu
indah nian bagai seribu bulan
nanda pinta pada yang kuasa
dalam ramadhan bulan rahmat
bunda sehat sepanjang waktu
umur panjang hingga bumi membisu
duhai bunda cahaya jiwaku

(ARAska.Bjb-Kalsel.23.08.09-05:09)


Sekar Rinonce Wulan Ramadhan

sekar sewu warnitinabur ing as tanipun sibu
arumipun dados donga angelus pun putra
pun putra nengga alusing swanten saking sabrang adamel
agenging manah ing salebet ing gesang inkang awrat ontran ontran
ketulusaning sibu adamel geter langi
dewi candra terenyuh nyata
mega mega ing angkasa angering rasa

dhuh sibu suluh pepadhang lampah kawula
lintang lintang mapak esem andika
ingkang kadya sewu rembulan
kawula suwun dhumateng gusti
ing wulan ramadhan sihrahmat
menika sibu tansah pinaringan sehat
panjang yuswa dumugi ning sirep bantala
dhuh sibu sunaring jiwa

(Translated by bunda Diha.26.08.09-22:37)

Minggu, 23 Agustus 2009

Puisi dari Lia


Ratap Jalanan

Jatahku kau sunat
Takaranku kau perhemat
Aku tercabik semburat
Saat menahan beban berat
Guyuran hujan menambah sekarat
Mencipta liang-liang sesat

Penggunaku mengumpat
Sumpah serapah terucap
Tatkala ia terjengkang hebat
Tak sedikit nyawa terenggut
Saat roda masuk liang maut

Ratakan aku
Sumpal liangku dengan mulut rakusmu
Aku takkan pernah mulus
Selagi otakmu masih seperti bulus

Lia

Minggu, 16 Agustus 2009

Seni Bela Diri - Kenaikan Sabuk


MENINGKATKAN KEMAMPUAN SENI BELADIRI

Perguruan Seni Beladiri Garda Satria Indonesia Art Partner in Univ. Achmad Yani, Banjarbaru melaksanakan kegiatan ujian Kenaikan Sabuk susulan bagi anggotanya yang belum mengikuti kenaikan sabuk. Kegiatan tersebut telah dilaksanakan pada Sabtu malam 15 Agustus hingga pagi Minggu 16 Agustus 2009. Sebelumnya kegiatan yang sama telah dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2009 hingga 28 Juni 2009.

Susunan jadwal acara yang dilaksanakan antara lain : Diskusi diri beladiri, Pengenalan Jurus dari beragam seni beladiri, Uji mental kecakapan situasi dan kondisi diri dan sekitar, Uji mental kepekaan refleks ilmu bela diri, Meditasi dan Renungan diri, serta Parade Jurus,

Jumlah Peserta yang mengikuti ada 23 orang, yang terdiri dari 9 orang putra dan 14 orang putri, sedang anggota siswa siswi keseluruhan ada 46 orang yg sebagian sudah mengikuti ujian kenaikan sabuk pada tanggal 27 Juni tersebut.

Menurut salah satu pelatih, “Kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan seni beladiri serta untuk meningkatkan kemampuan mental dan spritual siswa dan siswi, agar mereka siap menghadapi segala situasi yang terjadi, kemampuan intelektual dan keorganisasian juga diajarkan disini, sebagai bekal mereka di sekolah ataupun di dalam masyarakat. Terbukti 91 % dari anggota yang ada, kemampuan prestasi mereka disekolah meningkat, tingkat sosialisasi mereka dimasyarakat juga tumbuh menjadi lebih baik,” katanya tanpa mau menyebutkan namanya.

Abdul Sani, salah seorang siswa anggota yang kali ini menjadi ketua panitia pelaksana, mengungkapkan pendapatnya terhadap kegiatan ini, “Banyak kemampuan yang saya peroleh melalui kegiatan ini, disini kami juga diajarkan disiplin diri, disiplin beladiri dan disiplin organisasi.” Sementara itu Nor Cahya, salah satu siswi peserta kegiatan, berkata malu-malu, “Kegiatannya sangat melelahkan bagi fisik karena jadwal acara yang padat tapi saya sangat puas telah menyelesaikannya, sebab saya banyak mendapatkan pelajaran dan latihan bagi diri saya, walau pulang kerumah nanti harus mencari tukang pijit, katanya sambil bercanda”

Mengenai latar belakang Perguruan Seni Beladiri Garda Satria Indonesia Art Partner in Univ. Achmad Yani, sebagai berikut:

Perguruan Seni Beladiri Garda Satria Indonesia Art Partner in Univ. Achmad Yani, dibawah kordinasi dari Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial & SastraCooperation Line of Art Partner Univ. Achmad Yani atau yang disingkat dengan nama Art Partner Univ. Achmad Yani. Dalam Art Partner sendiri terdapat beragam aliran seni, ada teater, sastra, musik dan lain-lain.

Untuk Perguruan Seni Beladiri Garda Satria Indonesia Art Partner in Univ. Achmad Yani, anggotanya bukan cuma dari mahasiswa, tapi juga dari pelajar dan masyarakat umum. Untuk lebih memperkenalkan seni beladiri kepada masyarakat umum, khususnya mayarakat Banjarbaru, program yang ingin dicapai adalah memadukan seni beladiri dengan teater dan tari, sehingga tercipta suatu pertunjukan intertain yang menarik, tanpa meninggalkan unsur dasar dari seni beladiri nasional yaitu pencak silat dan seni beladiri daerah Kalimantan Selatan yaitu Kuntau. Walau tujuan akhir dari puncak seni beladiri adalah bukan untuk mengalahkan orang lain tapi adalah untuk mengendalikan diri sendiri.

Seni Bela Diri - PERTANDINGAN PENCAK SILAT


PERTANDINGAN PENCAK SILAT ANTAR PELAJAR BANJARBARU TINGKAT SLTP/ SEDERAJAT
Dalam Rangka Memperingati HUT RI Ke-64


Yang diselenggarakan pada hari Sabtu, tanggal 15.08.09, dimulai dari pukul 09.00 sd 15.30 Wit, di SMPN 4 Bjb di Jalan Paramuan landasan Ulin

Tujuan untuk menjaring bibit-bibit atlet pesilat masa depan untuk kota Banjarbaru
Tujuan kedepan sebagai persiapan untuk Gubernur Cup 2010
Acara pertandingan ini adalah yang kedua kalinya diselenggarakan, setelah yang pertama pada tahun 2008

Peserta dari Pelajar SMPN 4 Bjb, SMPN 9 Bjb, MTs Al-Falah, dan MA Al-Falah
Jumlah Peserta ada 26 orang yang terdiri dari 16 orang kelas putra dan 10 orang kelas putrid
Wasit/ Juri Pertandingan : Matoha, M.Firman, Gunawan, Araska dan M.Sahri
Timer : Habib Said A.Rifani
Ketua Pertandingan: Eddy Sofyan. S.Ag
Penyelenggara : Osis SMPN 4 Bjb

Hasil Pertandingan :

Juara Kelas Putra :
I. Doni Rahman (SMPN 4)
II. M. Syafe’I (SMPN 9)
III. Putera (SMPN 4)
IV. Reza (SMPN 4)

Juara Kelas Putri :
I. Noor Ainah (MA Al-Falah)
II. Hayatun Nisa (SMPN 4)
III. Novi (SMPN 4)
IV. Hj. Fauziah (SMPN 4)

Menurut Eddy Sofyan, SMPN 4 Sendiri mempunyai perguruan bela diri yang bernama Perguruan Seni Bela Diri Garda Sejati Indonesia, didirikan pada tahun 2006, jumlah keseluruhan siswa/i bela diri PSBD GSI hingga sekarang kurang lebih 250 orang. Untuk tahun 2009 ini kurang lebih ada 115 orang.
Struktur dari PSBD GSI
Pelatih Utama Eddy Sofyan
Dewan Pelatih : A. Khalik. AN, Habib Said Ahmad Rifani, Araska, Arbain


Prestasi yang pernah diraih PSBD GSI antara lain :
Tahun 2006 Norhayati juara II dan Agus Liani juara III Porseni
Tahun 2008 Widya juara III Porseni
bulan mei 2009, Marsela Juara III putrid kelas F Walikota Cup

Kamis, 23 Juli 2009

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Arief

Tawa mentari yang diselubungi selimut hitam
Hingga sendunya hari tampak dipelupuk mata
Hal itu membuat enggan para burung
Untuk melantumkan seruan alam

Sungguh sunyi saat ini
Hembusan angin yang menusuk tulang
Diiringi oleh sedihnya awan
Yang menurunkan bala tentaranya kebumi

Pepohonan berlari
Mereka melawan dengan sekuat tenaga
Untuk melindungi kerajaan mereka

Tetapi,
Mereka tak punya banyak tenaga untuk melawan
Karena para yang berkuasa
Telah menghancurkansebagian dari mereka

Hutanpun bersedih
Hutan pun menangis
Meratapi kemalangannya
Hingga air mata mereka Tertumpah
Menjadi petaka bagi bumi


(AR_F5.AMT~KALSEL.22”12”2007.09:08)

Minggu, 05 Juli 2009

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari East Star from Asia

Sajak Orang Pedalaman

ketika pohon-pohon itu ditebang
tubuh kamilah yang luka pertama kali
ketika pohon-pohon itu tumbang
rumah kamilah yang ditimpa pertama kali
kehidupan hijau dahulu yang kami dambakan
tanda sebagai manusia dari dunia bebas
atas nama kemanusiaan telah disingkirkan
dan ketika pohon-pohon itu diperjualbelikan
kamilah yang terakhir kali merasakan bantuan

ketika sungai-sungai itu meluap
air mata kamilah yang mengalir pertama kali
ketika sungai-sungai itu kering
tenggorokan kamilah yang mati pertama kali
kami tak dapat bicara tanpa tenggorokan
dan kami memang tidak memiliki mulut tenggorokan
sebagai ganti rugi semua yang kami dambakan
atas nama kemanusiaan telah disingkirkan
dan ketika sungai-sungai itu meminta korban
kamilah yang terakhir kali merasakan bantuan

bila tubuh kami hanyut menjadi cerita
bila rumah kami hanyut menjadi cerita
hanya air mata anak-cucu yang dapat kami sisakan
dan ketika semua itu menjadi pilu cerita
kamilah disebut penyebab pertama kali
alasan terakhir atas nama membangun kemanusiaan


(Banjarbaru, 1990)

# Puisi dari drap antologi Lingkungan Kalsel

East Star from Asia, adalah nama pena dari Qinimain Zain (Kandangan, 21 Mei 1965). Sarjana Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru juga dikenal sebagai ahli strategi dengan istilah ‘paradigma TQZ (Total Qinimain Zain)’. Menulis sajak, cerpen, esai, dan opini sejak tahun 1980-an. Beberapa sajaknya dimuat dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006).

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Putri

Bumi Menggerutu

Aku sudah tua
Dan aku lelah menopang kehidupan manusia
Tak ada yang peduli
Umurku tak lama lagi
Mengapa aku tak jadi langit saja?
Tak ada yang pernah menjamahnya
Ia hidup tenang di atas sana
Kebisingan yang selalu mendera
Badanku rusak, lubang perutku semakin dalam
Perang menghancurkanku
Keserakahan manusia membuatku miskin
Planet-planet tak lagi mengagumiku
Mereka berbalik mencibirku


(Banjarbaru, 5 Agustus 2004)

# Puisi dari drap antologi Lingkungan Kalsel

Dwi Putri Ananda (Pamekasan, 10 Februari 1987). Alumni SMA Negeri 1 Banjarbaru ini di samping produktif menulis sajak juga aktif berteater dan musikalisasi puisi. Sajak-sajaknya diikutsertakan dalam antologi penyair Banjarbaru Bumi Menggerutu (2005). Kini bergiat di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha.

Minggu, 14 Juni 2009

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Adjim Arijadi

Arus Barito

beratus petani buah dan sayuran
menggeser sebeng kecemasan jukungnya
menyinggahkan kelelahan kapal kelotoknya
dari perjalanan panjang: Tamban – Marabahan
tapi lintas Kuwin tertebat rakit batang meranti
di arus lasak sungai Barito ini

bila jukung-jukungmu sudah menepi
dan pengayuh jadi tonggak penambat di air dangkal
kudengar lagi ayun apan dan kucium harum
asap tanakan nasi karang-dukuh

tapi tercemar tuba menayang harapan adalah air
saksikanlah bianglala karbon dioksida
dan bebauan kasturi sia-sia
menggoda bekantan tua
burung-burung sarindit terbakar lidahnya
mencecap air Barito yang cemar
dan asap hitam
kapal-kapal hitam pabrik-pabrik hitam petrodollar
di hilir di hulu menebar sampar
angin mengucurkan hujan asam sianida
menyempurnakan derita; suara kintung dan kurung-kurung

bagai rintihan; angin membawa angkara ke mana-mana
menerpa lanting dan rumah beranjung para raja
air sawah digenangi tahi minyak dan obat pengawet kayu
hutan gilas-rencah pengaplingan keserakahan oleh
tangan-tangan kekuasaan yang sia-sia disembunyikan
dari pandang dunia; kita ini cuma anak angkat
dari beribu kesempatan yang diluangkan kekuasaan
ah Barito, menangislah ke pangkuan penyair saja
atau diamlah, ada cerita bagus tentangmu di televisi
siang ini

(Banjarmasin, 1994)

# Puisi dari drap antologi Lingkungan Kalsel

Adjim Arijadi (Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940). Penyair, dramawan, sutradara, penulis naskah teater, film dan sinetron ini adalah pendiri sekaligus pimpinan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan yang masih eksis hingga kini sejak didirikan tahun 1970-an. Sajaknya terdapat dalam sejumlah antologi bersama, seperti Air Bah (1970), Jabat Hati (1973), Jejak Berlari (1974), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Saidah

LuKisan Hijau

Hamparan lukisan hijau nan hidup
Menghiasi seluruh alam semesta
Angin menerpa silih berganti
Udara menyejukkan hati

Alangkah damainya kehidupan
Kehidupan yang dihiasi lukisan
Lukisan alam dengan kesejukan
Lukisan alam dengan keindahan

Tapi, sekarang di mana kehidupan itu?
Kehidupan nan damai
Kehidupan nan sejuk
Kehidupan nan indah

Betapa kejinya hati manusia
Hati yang dikuasai nafsu
Hati yang terbelenggu ketamakan
Tanpa memikirkan saudaranya

(Banjarmasin, 18 Maret 2006)

# Puisi dari antologi Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab, halaman 27, tahun 2006.

Minggu, 17 Mei 2009

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Johan Kalayan


WIT si WIT

Wit wit wit si Wit wit wit wit si Wit
wit wit wit wit wit si Wit wit wit wit
Bobgkar !!!
Gali lililili Gali galiiii !
Ba ba ba ba ba rarara ra ra ra rararara
tu tu tu tu tut bababa tutututu ra rarara
tutututttttt…
Angkuuuuut !
Masuk kantong atas, kantong bawah
Kantong depan kantong belakang
Deposito di Bank-bank semua sudah terisi dengan wit
Huaaaaah…….
Semua sudah penuh
Si Wit tertawa terbahak-bahak
Perutnya semakin gendut
Anaknya sudah kuliah di Ithaca sebuah kota kecil di Amerika serikat
Masa depannya akan menggantikan kedudukan si Wit
Anakku bakal jadi pejabat
Kekuasaan akan menambah kekayaan

Wit wit wit wit si Wit
Si Wit membongkar, menggali lagi. Gali lililili
Rararara ra ra rarara babababa tututu babababa
Si Wit banyak wit
Si Wit kawin lagi, kawin lagi.
Istrinya sudah selusin
Masih belum puas si Wit berselingkuh lagi
Wooooowww…..
Si Bahenol dalam pelukannya
Entah berapa banyak wanita yang ditidurinya
Si Wit lupa diri
Si Wit terus mengeruk kekayaan alam tanpa peduli lingkungan
Alam marah
Panas matahari menyengat
Bukit dan tanah dataran jadi tandus berlobang-lobang hancur tidak karuan!
Awan hitam berarak
Langit mendung
Hujan deras turun
Tuhan sudah mulai marah pada si Wit
Banjir datang, membunuh para bayi
Wanita renta ternganga larut di telan banjir
Jeritan terdengar keras
Toloooooong….!
Sang ibu menangis kehilangan anak, kehilangan suami, kehilangan segalanya
Para suami termangu memikir keluarganya, makan apa nanti siang.
Semua ini ulah dari Si Wit wit wit wit
Orang pintar bisa berhati kanibal
Orang bijak berhati mulia

Si Wit capek melayani istri-istrinya.
Capek melayani selingkuhannya.
Tadinya si Wit duduk di kursi kekuasaan, sekarang terkapar di rumah sakit
duduk di kursi roda.
Wajahnya pucat, bola matanya kuning menyala.
Si Wit Strouk memikirkan istri-istrinya yang rewel dan para selingkuhannya
Minta dinikahi
Si Wit termenung memikirkan nasibnya
Istri-istri mudanya mulai tersenyum, demikian juga selingkuhannya
Mereka sebentar lagi akan meraup kebebesan lepas dari genggaman si Wit.
Terkecuali istri tuanya menangis, meratapi suaminya
Tuhan ampuni suamiku
Jangan masukan ke Neraka jahanam

(Indonesia 2008)

Johan Kalayan, adalah seorang Penyair Banjarmasin, yang saat ini berdomisili di jakarta, sebagai Penulis Novel, Penulis naskah filem dan sinetron, serta sebagai salah satu pengurus PARFI Nasional.

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Petrus Adi Utomo


PUTTING BELIUNG

sahabatmu angin semilir pantai
angin sepoi tempat pecinta menikmati senja
angin gunung pembawa awan sejuk pegunungan
angin laut darat sahabat pelaut mencari ikan

aku berdiri ditengah padang
ketika kau datang kawan…
pohon-pohon tumbang
rumah-rumah menjadi padang
padang-padang menjadi timbunan kehancuran
kawan…
apakah kau sedang murka?
mengapa kau marah?
apakah salah kami?
putting beliung berdiam bisu…
putting beliung kembali datang
merusak kota-kota
dalam putaran hembusannya mengangkat kota kota
inilah jawabku katanya
kota sumber kehancuran hutan
kota sumber kehancuran alam
kota sumber tipu muslihat

aku berdiri tegap, ditengah kehancuran kota
bertanya… siapa yang mendengar suara badai?
orang kaya pucat pasu orang pandai diam
para pemimpin bisu
hanya penggembala kerbau
mengangkat tangan kotor dan berkata
putting beliung badai sahabatku
maka aku tau apa yang dia mau
tapi siapa yang mau dengar aku?

(Elang Darat, Solo, Jajar 3 Januari 2008, jam 3 pagi)

Petrus Adi Utomo (Elang Darat), lahir 4 Juni 1964, tingal di kota Solo.
Ngamen puisi dari tahun 2002 hingga 2008. Prestasi yang diraih : juara ketiga menulis dan membaca puisi QQ Production se Jabotabek tahun 2007, juara ketiga membaca dan menulis se Jateng piala Dewan Kesenian jateng tahun 2008. Sering tampil membaca puisi dalam berbagai acara dan kegiatan.

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Hamami Adaby


Peristiwa Alam

Rambut habis cukur sebuah fenomena alam semesta.
Musim tak pernah utuh, berubah panjang dan pendek.
Tak ada skala prioritas sudah berabad kejadian.

Apalagi yang tak terduga. Masih tumbuh diatas bola?
Kolam berpuluh tahun kesetiaan sisi menipis terkikis

Dari lapisan tanah air setitik nafas mengalir, bumi berdenyut pohon akarku kering sendiri.

Tanah ilalang tak subursubur, bunganya terbang tak tumbuhtumbuh. Bukan berapa usiamu, itukah yang akan kau pertanyakan?

Tanah ilalang memang tak subur, bunganya terbang tak pulangpulang.


Hamami Adaby (Banjarmasin, 5 Mei 1942). Pensiunan PNS yang pernah menjabat Kepala Kantor Departemen Penerangan di Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan ini menghimpun sajak-sajaknya dalam antologi Desah (1984), Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai (2001), dan Bunga Angin (2002). Antologi bersama yang memuat sajaknya adalah Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dll.

Edisi Lingkungan Hidup - Puisi dari Drs. Ahmad Syam'ani


DANAU LIAR

Kau ingin melipat danau./
Dan menyimpannya/ di selembar daun pintu/
Yang penuh/ cahaya lampu.
Namun/ danau adalah kegelapan liar/ belantara./
Tempat pengembara/ tersesat/
Dan jeritan rindu/ yang tak dapat menggugurkan daun-daun./
Tanpa gelombang./

Danaulah yang membuka/ kemarau/
Dan menyebarkan jiwa diam./
Mematikan/ nyala AC,/ Telivisi,/ dan Radio./
Mengetuk daun pintu/ yang penuh coretan cita,/ kegagalan,/ dan debu dari tangan mu./
Yang rapuh menutup diri/ yang ingin abadi/ dibawah lampu.

Danaulah yang selalu bisa membuat mu putus asa./
Karena keliarannya/ tak terjamah./
Tak bisa dilipat/ dan disimpan/ di selembar daun pintu/ oleh tangan mu/
yang rapuh.
Namun/ pernah kau tahu.
Danau juga/ yang bisa menjadikan mu/
ikan yang bebas berani/ meninggalkan/ cahaya lampu./
merubuhkan pintu./
menuju/ kegelapan alam./
di luar/ kamar.

# dimuat di selebaran-Syam, Bulettin Forum Sastra Kita, Edisi III/ Jan/04, Hal 12

Drs.Ahmad Syam’ani, lahir di Banjarmasin 14 Februari 1958, hingga menyelesaikan pendidikan Fisip Unlam Banjarmasin (S1), sekarang berdomisili di Bandung.
Menulis puisi sejak tahun 1978, dipublikasikan di berbagai media massa, Banjarmasin, Subang, Bandung.
Sebagai penyair pernah menjadi anggota Ikatan Pecinta Seni Sastra Mahasiswa Unlam Banjarmasin-Banjarbaru, ketua Forum Pujangga Vens/ Sastra Venus, tahun 2003 menjadi ketua Forum sastra Kita Subang, tahun 2005 menjadi bendahara forum sastra pojok Bandung dan menjadi ketua Buletin Rumah Sastra Bandung.
Prestasi: juara II, penulisan puisi yang diadakan oeh radio Kharisma (Later) Subang dalam rangka HUT RI tahun 2000. Puisi-puisi yang dimuat, di antologi Dahaga B.Post (1981) sebuah kenang-kenangan oleh Tajuddin Noor Ganie. Dimuat dalam sketsa penyair (berbagai angkatan) oleh Maman.S tani dan Jarkasi, Banjarmasin. Dimuat dalam Buletin sastra oleh Forum sastra kita Subang.

Edisi Lingkungan Hidup - puisi dari I Made Suantha

Restorasi Kupukupu – 6

bahasa sederhana ini: “kupukupu lahir!”
menyimak lapisan air
udara: bias cahaya di daun
mengurai putik: benang sari untuk menjadi madu

o, penangkar lebah
seberapa indah sebuah taman tanpa bunga
kumbang. serangga malam
bulan. percintaan sepasang kekasih. bintangbintang!

dan jalan setapak menuju pusat gempa
seberapa kuat cengkramannya pada tanah
sekeras cahaya. segemericik air
seliat angin!
aku menyiangi. mengairi nektar getah
selaksa detak jantungmu!

seekor kecebong tanpa ekor. yatim piatu
mengacaukan warna lumut pada setiap telaga
(warna coklat yang pekat. secair lumpur
membusukkan udara bebas dalam genggaman!)

mencari matahari yang hilang disebuah senja
disetebal kabut yang meleleh bersama liur kupukupu
disebuah jejak yang timbul tenggelam di cuaca
ku terka wajahmu seperti angin
dalam desiran tak henti henti!

kupukupugelisah
di tangan perambah hutan: pemburu!
kupukupu terbang
di peta kiblat: altar penungguan!

seberapa datar cakrawala dengan batas laut itu
jalan terbilang dan terbagi
secarik sawah di kalbu: sebutir telur teram
setenang ibadah air!

# Dimuat dalam buku antologi puisi Pastoral Kupukupu, halaman 60, penerbit Arti Foundation, tahun 2008

I Made Suantha, lahir di Sanur, Denpasar 24 Juni 1967. Mulai menulis sejak SMP tahun 1984. Tahun 1987 diundang Dewan Kesenian Jakarta dalam Forum Puisi Indonesia 1987 di Taman Ismail Marjuki, Jakarta. Tahun 1992 diundang pada Festival Puisi di Surabaya.
Tulisannya tersebar di Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan. Antologi puisinya: Hram (kumpulan puisi penyair bali, 1988), Silaturahmi Kupu-kupu (Desember 2005). Antologi puisi tunggal : Peniup Angin (1989), Togog Yeh (kumpulan puisi bahasa Bali, tahun 2002), Liturgi, Perjalanan Bunga (manuskrip tiga kumpulan puisi, siap terbit), dll.
Kini menetap di Jalan Raya Celuk Gg. Sakura I/5 Celuk Sukawati, Gianyar, Bali.

Rabu, 13 Mei 2009

Diskusi & Lounching Buku Bunda Diah Hadaning


PROSES KREATIFKU DALAM PESONA ETIKA, ESTETIKA DAN MISTIKA
adalah judul buku yang dikarang oleh Diah Hadaning

Telah di diskusikan di Kedai I.Buku, jalan Veteran 25, Kawasan Monas, Jakarta Pusat, hari Sabtu tanggal 16 Mei 2009, pada pukul 13.30 s.d 18.00.
Dengan pembahas TAU-EIK RAHZEN

Rabu, 06 Mei 2009

Cerpen dari Sarah Serena

Tatkala Cinta Berbuah Pahit

Oleh :
Sarah Serena Efendi Santoso, SH. MH

Memang ternyata ada benarnya juga kata orang, lelaki lemahnya terhadap tiga hal, yakni harta, tahta dan wanita. Setidaknya, hal itu kini sedang dirasakan oleh Agus. Salah seorang pejabat tinggi negara yang awalnya diharapkan akan membawa perubahan bagi negeri ini, namun akhirnya jatuh karena seorang wanita. Kini, dia harus berendam dibalik jeruji, karena seorang wanita. Entah, apakah ini sebuah gambaran kondisi negara ini, ataukah hanya kebetulan saja. Berapa banyak pejabat negara, bahkan anggota dewan yang jatuh pamornya hanya karena seorang wanita. Mereka yang seharusnya menjadi tauladan bagi negeri ini, justru malah merusak dirinya sendiri hanya karena persoalan wanita.

Sementara, nun jauh dipedesaan sana, banyak lelaki muda yang terpaksa membujang. Yah, tuntutan kehidupan di jaman sekarang ini, membuat mereka terpaksa ditinggalkan oleh kekasihnya. Kesilauan para gadis muda terhadap materi dan popularitas telah membuat mereka kehilangan kesempatan untuk meraih cinta. “Kita tidak bisa hidup, hanya makan dari cinta”, begitu kata para gadis itu. Belum lagi, anak-anak SMA yang baru beranjak SMA juga telah terkontaminasi dengan harta dan kekayaan. “Eh, sus, kamu tahu apa tidak, di SMA 1 sana anaknya ganteng-ganteng lho, tapi sayang……”, kata Santi. Lalu susi menjawab, “Sayang kenapa, san ?”. Kemudian Susi kembali berkata, “Sayang, mereka tidak ada yang punya motor dan mobil!” Inikah gambaran kondisi saat ini ? Pantas saja sekarang ini makin banyak lelaki muda yang menjadi waria. Bukan karena mereka memang punya kelainan jenis kelamin dari lahir, namun karena mereka frustasi terhadap kehidupan. Yah, frustasi terhadap kehidupan. Mereka merasa frustasi karena tidak mampu bertindak sebagai lelaki sejati yang mampu memenuhi kebutuhan hidup calon pasangannya, sehingga kekasih yang sangat dicintainya sepenuh hati pergi meninggalkan dirinya. Mereka merasa lemah sebagai seorang lelaki!. Belum lagi, kehidupan juga tidak berpihak padanya, dimana mereka sulit mendapatkan kesempatan kerja, karena tidak punya uang untuk menyogok dan tidak punya koneksi untuk memperoleh pekerjaan. Kelemahan itu perlahan lahan mengikis akal sehatnya sebagai seorang lelaki. Hingga akhirnya, ia menempuh jalan sebagai waria untuk memperoleh kehidupan sebagai wujud kelemahan dirinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak dalam menapaki jalan kehidupan ini.

Di lain pihak ada para isteri yang sedang merenung dalam sudut kamarnya yang sunyi. Mereka tidak habis pikir, bagaimana para suami mereka tega mengkhianati cinta mereka yang suci. Mereka juga tidak habis pikir, bagaimana para suami meminta mereka menjaga pandangan matanya serta tingkah lakunya sejak menikah, sementara para suami tersebut menebarkan mata serta melebarkan sayapnya dimana-mana. Dengan alasan takut “zina” para suami itu menikah lagi. Padahal para suami telah melakukan “zina” sebelum menikah dengan gadis pujaannya itu. Yah, tanpa disadari para suami itu telah melakukan “zina”, yakni “zina mata”. Karena cinta itu berawal dari pandangan mata. Pandangan mata yang mengobarkan nafsu emosi turun ke dalam hati yang berkembang menjadi sebuah cinta. Yah, cinta. Para lelaki itu kalah dengan dirinya sendiri, karena tak mampu untuk menjaga pandangan matanya, seperti yang dilakukan oleh para isterinya. Mereka berbuat seperti itu, seakan-akan isteri mereka tak mempunyai nafsu seperti para suami itu. Mereka tidak menyadari bahwa lelaki dan perempuan itu pada dasarnya mempunyai nafsu dan perasan yang sama, terlebih lagi perempuan itu berasal dari tulang rusuknya laki-laki. Maka dengan demikian, watak dan sifat lelaki itu pastilah ada dalam diri perempuan itu, karena berasal dari tulang yang sama. Namun, kenapa para isteri itu mampu menjaga pandangan matanya, sementara suaminya tidak ?”. Seringkali bila, sudah terpojok para suami akan mengatakan ‘poligami diperbolehkan dalam agama islam, bila mampu bersikap adil”, kata mereka. “Tetapi adil dalam segi apa?”. Yang namanya perasaannya, sepandai-pandainya orang menyembunyikan perasaannya, pasti akan ketahuan juga. Adil dalam materi, belum tentu adil dalam membagi hati dan perasaan. Seringkali, isteri muda lebih diutamakan daripada isteri tua. Berapa waktu yang dihabiskan bersama isteri muda, daripada isteri tua?”. Secara sadar atau tidak sadar, tentunya hal dilakukan secara tidak adil. Berapa banyak hadiah yang diberikan kepada isteri muda dibandingkan isteri tua? Terlebih lagi ketika isteri tua tersebut tidak mempunyai anak laki laki-laki, sementara isteri muda punyai anak laki-laki. Tentunya kasih sayang para suami itu, akan lebih besar kepada isteri muda karena dianggap telah melahirkan keturunan yang akan melanjutkan usahanya. Walau tak bisa juga menjadi jaminan, setelah dewasa nanti anak tersebut akan menjadi seperti apa yang diinginkan oleh ayahnya. Karena, para suami itu lupa. “ajal, rejeki, jodoh, allah lah yang mengaturnya, bukan manusia. Dengan kata lain, “manusia merencanakan, allah lah yang menentukan. Karena itu, manusia tidak akan pernah bisa menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Mereka hanya bisa berusaha, berikhtiar dan berdoa, namun tidak dapat memastikan masa depan seorang anak.

Nikah siri, merupakan suatu fenomena andalan saat ini bagi para lelaki yang tak mampu menjaga pandangan matanya. Mereka mengatakan mengatakan “menikah siri” sebagai suatu jalan untuk menghindari zina. Pernikahan siri ini dilakukan tanpa sepengetahuan dan seizin isteri pertama. Padahal sebenarnya, apa bedanya “nikah siri” dengan “zina”. Zina diharamkan dalam agama islam, karena dikhawatirkan bayi yang dikandung dalam rahim calon si ibu nantinya tidak berayah, karena si ayah cenderung tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Sementara nikah siri, walau secara agama diakui sah, akan tetapi di mata hukum negara itu tidaklah sah. Sehingga dengan demikian, sang bayi tidak bisa mendapatkan status pengakuan dari sang ayah. Meski sang ayah telah bertanggung jawab untuk menikah dengan ibunya, namun sang bayi tidak bisa mengakses seluruh harta kekayaan sang ayah, karena kelahirannya kemuka bumi ini belum diakui oleh mata hukum negara. Dengan demikian, apalah bedanya “nikah siri dengan “zina”, toh dua-duanya menunjukkan sang bayi tidak memiliki hak waris sebagai ahli waris dari bapaknya. Jadi apa bedanya?

Kembali ke kisah Agus, sang pejabat negara. Kelemahannya terhadap perempuan, membuatnya terjerat oleh perbuatannya sendiri. Memang, merupakan tugasnya untuk mencari informasi yang sebesar-besarnya mengenai orang-orang yang hendak diselidiki olehnya. Namun, dirinya telah salah langkah dalam mengambil keputusan. Dia menerima undangan dari seorang perempuan untuk datang ke sebuah hotel dengan alasan akan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Agus dalam kasus yang sedang diselidiki olehnya. Tanpa curiga sedikitpun, Agus memenuhi undangan tersebut. Ternyata, sampai di hotel, tidak ada informasi apa apa, yang ada hanya seorang perempuan bernama Rara yang mencoba merayu agus untuk jatuh cinta padanya.

Beberapa hari kemudian, Agus dihubungi oleh orang yang sedang diselidikinya. Orang tersebut mengatakan, bahwa agus telah berselingkuh dengan isteri ketiganya. Agus, kaget setengah mati. Dia tidak menyangka, bahwa dirinya telah dijebak oleh lawannya sendiri. Seandainya waktu itu ia tidak datang ke hotel tersebut, mungkin dia tidak akan terjebak dalam kisah kasih asmara segitiga antara Agus, Rara dan lawannya itu. Tanpa diduga, lawan mainnya mengancam akan melaporkan foto foto perselingkuhan Agus kepada isterinya. Agus mendadak menjadi kalut. Dia takut semuanya akan hancur berantakan, baik rumah tangga maupun nama baiknya. Di tengah rasa kekalutannya itu, muncul pikiran jahatnya. “Ah, mengapa saya tidak minta tolong saja sama teman saya untuk membunuh orang itu”. Ya, ya, ya. Ini adalah satu satunya jalan untuk membungkam mulut orang itu. “Siapa tahu, teman saya tersebut bisa membantu saya untuk melenyapkan orang itu selamanya”, bathin Agus.

Kring, ..kring,…kring, handphone Romi berbunyi. Seorang mantan pejabat kepolisian di wilayah Tanggerang yang namanya sempat melambung, karena sebuah kasus rumah tangga. Saat itu Romi tengah bersenda gurau dengan isteri dirumahnya. “Halo,..siapa ini?’ tanya Romi. Tak lama kemudian, dari seberang sana terdengar suara, “ini Agus, Rom”, katanya. “Oh Agus, apa kabar gus?” , Tumben malam malam begini telepon, ada apa gus?”. Agus pun kemudian menceritakan masalahnya pada Romi. Setelah cukup lama bercerita, akhirnya Agus menanyakan pada Romi, “bagaimana Rom, apakah kamu bisa membantu aku kali menyelesaikan masalah ini?”. Romi sebenarnya agak ragu mendengarkan rencana Agus. Di satu sisi dia merasa apabila dia membantu Agus, maka nama baik dan jabatannnya dia menjadi taruhannya, di sisi lain dia merasa Agus telah membanyak membantu dia dan keluarganya hingga bisa menduduki posisi seperti sekarang ini. “Eye for An Eye”, begitu kata pepatah. Hutang nyawa dibayar nyawa, hutang budi dibayar budi. Saat ini, orang yang selalu menolong Romi selama perjalanan kehidupannya tengah dilanda kesulitan akibat terjebak oleh permainan perempuan dan orang yang menjadi musuhnya, oleh karena itu, meski nama baik dan jabatan menjadi taruhannya dia harus melakukan suatu tindakan untuk membantu dewa penolongnya keluar dari kesulitan. Akhirnya dia memberikan jawaban pada Agus, “Baiklah, Gus kali ini aku akan menolongmu, meski nyawa taruhannya!”. Sebuah keputusan yang berat namun berani.

“Gagak 1 memanggil Gagak 2 dan Gagak 3 untuk menghadap ke Markas. Romi memanggil anak anak buahnya untuk segera menghadap dirinya. Tak berapa lama pula, Ricky dan Toni segera menghadap ke Markas. “Prajurit, ada bahaya mengancam salah seorang pejabat tinggi negara kita”. Pejabat Tinggi tersebut mendapat ancaman pembunuhan oleh salah seorang pengusaha di negeri ini yang sedang diselidiki olehnya. Nah, sebelum orang tersebut sempat melaksanakan niatnya, untuk membunuh pejabat tinggi negara kita, saya minta pada kalian untuk membunuhnya terlebih dahulu. “Apakah kalian siap, melakukannya?”. Serentak mereka berdua menjawab, “siap komandan!”. “Bagus, …bagus, ingat ini tugas negara!”. Jangan sampai ada yang tahu!”. Orang ini bernama Kamaluddin, dia seorang pengusaha PT. Rajacitra Nugraha Permai. Orang ini biasa main golf, di Taman Golf Bukit Tanggerang. Biasanya, dia pulang main Golf menuju Rumah isteri keduanya jam 2 siang. Suasana disaana biasanya sepi. “Nah, saya minta sama kalian untuk membunuh pengusaha itu sepulangnya dari main Golf. “Apakah kalian siap ?” tanya Romi pada anak buahnya. Kembali serentak mereka menjawab, “siap komandan?”

Betapa bangganya Ricky dan Toni mendapat kehormatan menjalankan tugas negara. Bayang-bayang kenaikan pangkat sudah mengalir dalam bayangannya. Rumah dinas kepolisian yang selama ini menjadi idamannya akhirnya bisa terwujud jua. Setelah melakukan tugas ini, mereka akan menempati rumah dinas yang dijanjikan oleh komandan. Dengan demikian, rasa rindu terhadap anak dan isteri dirumah dapat diobati. Sebab dengan adanya rumah dinas ini, mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarganya yang dicintainya. Sejak pagi, Ricky dan Toni sudah bersiap-siap. Dengan plat motor milik kepolisian mereka pun bergegas menuju Taman Golf Bukit Tanggerang. Dengan sabar, mereka menanti target operasinya selesai main. Tepat jam dua siang, orang yang ditunggu tunggu akhirnya kelar juga. Mobil BMW Silver dengan plat nomor BKM12DN pun bergegas pergi meninggalkan taman tersebut. Namun Ricky dan Toni merupakan pasukan terlatih yang hebat, mereka dapat mengejar mobil tersebut dan tak berapa lama kemudian terdengar suara,…..dor…dor….dor , dari kaca pintu belakang kiri mobil. Tiga Butir Peluru meluncur menembus kaca mobil, langsung mengenai kepala pengusaha tersebut. Setelah memastikan tembakannya tidak meleset, Ricky dan Toni pun langsung bergegas pergi meninggalkan lokasi. Namun, Ricky dan Toni lupa, masih ada saksi yang hidup. Yakni supir Kamaluddin, yang melihat no plat motor yang digunakan Ricky dan Toni untuk membunuh pengusaha Rajacitra Nugraha Permai itu.

“Gagak 2 dan Gagak 3, melapor pada Gagak 1, ganti !”, mereka membunyikan walki talkinya untuk melapor pada komandannya. “Ya, gagak 1 disini, ganti!”, tutur komandan. Kembali Gagak 2 berkata, “mission is completed, laporan selesai, ganti!”. “Laporan diterima, “good work boys, ganti!”, tutur komandan Romi. Tak berapa lama kemudian, romi menghubungi agus. Kring….kring…..kring,….kring!”. “Halo”, kata Agus seraya cemas mengharap kepastian, “Gus, ini Romi, kamu ndak usah khawatir lagi, masalah sudah diselesaikan oleh anak buahku dengan baik!”, kata Romi. Agus mulai bisa tersenyum, “syukur, kalau begitu Rom, aku bisa tenang sekarang!”. “Terima kasih Rom, terima kasih. Agus, menutup teleponnya sambil tersenyum dengan tenang.

“Kring, kring,…kring, telepon dirumah lastri, isteri kedua kamaluddin berbunyi!”. “Halo, siapa ini ?”, tanya bu Lastri. “Ini saya bu, paidi !”. “Ada apa, paidi?” tanya Lastri. Ini soal ba…pak, bu !”. Iya, ada apa dengan bapak, paidi ?” tanya bu Lastri kembali. Ini bu, ba…pak, ba….pak !”. Ya, tolong katakan dengan jelas, ada apa dengan bapak, paidi!”tanya Lastri, degup jatungnya mulai berdetak kencang. “Ba..pak, ba…pak, dibunuh bu!”, lapor paidi. “Apa, dibunuh?” tanya Lastri. “I…ya bu, i..ya!” kata paidi. “Siapa yang bunuh, katakan siapa yang bunuh bapak paidi ?”, tanya Lastri. “Po…lisi, po..lisi bu!”, mereka naik motor dan menembakkan peluru yang mengenai kepala bapak bu!”. “Gubrak”, mendadak bu lastri jatuh pingsan. Dia tak kuat mendengar lelaki yang dicintainya walau telah mengkhianati cintanya akan mendapatkan balasan dari tuhan dengan cara seperti itu. “Ibu, ibu…kenapa bu?” tanya Sandi. Ia segera berlari kearah ibunya, tatkala melihat ibunya jatuh pisan. “Mbok Sani, Mbok Sani…, tolong saya mbok, ibu pingsan!”, seraya Sandi memanggil pekerja rumah tangga ibunya yang sudah lama ikut tinggal dengan mereka. Mbok Sani pun segera bergegas datang menghampiri Sandi dan Ibunya sambil membawa segelas air putih untuk menenangkan pikiran Lastri. Sejenak kemudian, Sandi melihat telepon masih menggantung diatas meja, Sandi mencoba mengambil alih. “Halo, apa disana masih ada orang?”, tanya Sandi. Tak berapa lama, ada suara dari seberang sana. “Masih mas, saya paidi!” tutur paidi. “Oh paidi, ada apa paidi, mengapa ibu saya mendadak pingsan setelah berbicara dengan bapak ditelepon?” tanya Sandi pada paidi. “Maaf mas, saya tadi cuma kasih tahu sama ibu, kalau bapak telah tewas terbunuh!”, tutur paidi kembali. “Apa!”, “dibunuh!”, “siapa yang bunuh bapak saya, paidi ?” tanya Sandi. “Mungkin polisi pak, karena yang bunuh naik motor yang pakai plat nomor merah, plat nomor polisi!” tutur paidi. “Baiklah pak, sekarang bapak ada dimana?” tanya Sandi. “Sekarang, bapak ada dikamar mayat mas, di rumah sakit Dharma Nugraha Ciputat! “Baiklah pak, saya akan berangkat kesana sekarang!”.

Koran, koran ! Berita hangat, berita hangat! Seorang pengusaha telah mati terbunuh! Berita hangat, berita hangat !. Betapa kagetnya Romi, membaca koran pagi itu. “SEORANG PENGUSAHA MATI TERBUNUH, MENURUT SAKSI MATA POLISI ADALAH PELAKUNYA!”. Ah, mengapa tidak terpikirkan olehku soal saksi mata!”, tanya Romi dalam hatinya. “Mengapa juga mereka harus menggunakan motor dinas untuk melaksanakan tugas”. “Kalau sudah begini, pasti akan terbongkar semunya!” kata Romi dalam hatinya. Tak berapa lama kemudian, suara handphone berdering. Kring….Kring…Kring!. “Halo, Romi ini Agus!”. “Ya, Gus aku sudah berita koran pagi ini. Maaf aku tidak tahu kalau ada saksi mata yang melihat kejadian itu. Aku minta maaf!. Justru aku yang harus minta maaf padamu, Rom!”. “Aku, telah terlalu jauh melibatkan dirimu untuk urusan pribadiku sendiri”. “Kamu justru telah berbaik hati menolongku, meski nyawamu taruhannya”. Kamu tidak salah, Romi! Akulah yang salah! Aku telah mudah terpancing oleh rayuan seorang wanita cantik, yang akhirnya menjebak diriku sendiri. Aku harus berani menanggung resiko atas perbuatanku sendiri, meski nam baik dan martabatku menjadi taruhannya!.

Lastri tidak pernah menyangka bahwa gadis muda yang dikawini secara sirih oleh suaminya justru menjadi “buah simalakama bagi suaminya sendiri”. Yah, Rara seorang wanita cantik yang menjebak Agus dalam sebuah kamar hotel, adalah isteri ketiga Agus yang dikawininya secara sirih. Rara, seorang gadis muda belia mahasiswi jurusan manajemen computer di STMIK Rahardja, Cikokol Tanggerang mulai berhubungan dengan Kamaluddin ketika menjadi “caddy” di Padang Golf Modern Land. Sebelum berhubungan dengan Kamaluddin, Rara telah berkenalan dengan Agus terlebih dahulu. Itulah sebabnya mengapa Agus mau saja menerima undangan dari Rara tersebut untuk datang ke kamar hotel yang menjadi akhir bagi semuanya. Rara yang menjadi primadona taman golf tersebut, mampu membuat Agus maupun Kamaluddin serasa di awang awang bila didampingi oleh Rara ketika sedang bermain golf. Mereka lupa akan isteri dan anak anaknya yang ada dirumah, karena telah bertemu dengan bidadari cantik yang mampu membuat degung jantung pria serasa terhenti ketika melihatnya. Karena kelincahannya, Rara mampu membuat kamaluddin jatuh ke dalam pelukan cintanya. Mereka pun akhirnya nikah siri, dengan catatan apapun yang terjadi dengan Rara dikemudian hari sepenuhnya menjadi tanggung jawab Rara pribadi bukan Kamaluddin sebagai suaminya. Dengan kata lain, anak yang dikandung Rara dari hasil pernikahan dengan Kamaluddin tidak berhak memakai nama Kamaluddin, sebab pernikahan tersebut dimata hukum negara belum sah. Rara tidak peduli akan masalah itu. Karena Rara menikah dengan Kamaluddin juga bukan didasarkan cinta. Rara hanya ingin menikmati kesenangan duniawi yang dirasa mudah diperolehnya apabila menjadi isteri simpanan dari Kamaluddin. Terlebih lagi, Rara membutuhkan biaya untuk menyelesaikan kuliahnya. Biaya yang selama ini dibayar dari hasil kerja kerasnya sendiri, sebab kedua orang tuanya tak mampu membiayai kuliahnya. Jadi, apa salahnya bila Rara jadi “isteri simpanan” seorang penguasaha kaya raya. Yang penting urusan pribadi termasuk urusan kuliahnya berjalan lancar. “Jadi so far so well. Nothing matters”, begitu alam pikir Rara. Dia tidak peduli dengan perasaan isteri Kamaluddin yang menahan sakit hatinya akibat perbuatan Kamaluddin. Rara sama sekali tidak peduli. Dia bilang “kenapa saya harus peduli dengan mereka semua, wong setan saja tidak peduli dengan saya!”, tutur Rara. Setiap kali, orang tuanya mengingatkan Rara untuk menjaga sikap dan tingkah lakunya sebagai seorang perempuan.

Yah, Rara tidak pernah menyalahkan dirinya sendiri atas perbuatannya merebut suami orang. Bahkan boleh dikata, dia merasa senang bila mampu membuat lelaki orang bersembah sujud pada dirinya. Dia merasa bangga dengan kecantikannya yang luar biasa. Kecantikannya yang menurutnya tidak boleh disia siakan, apabila dia ingin lepas dari jeratan kemiskinan yang selama ini mengisi hari-harinya. Rara tumbuh menjadi seorang jelmaan Dewi Wanda Betari Durga. Dewi yang senang menghancurkan kebahagiaan manusia. Begitu pula, dengan Rara. Entah mengapa, ada rasa kepuasan dalam dirinya, apabila para lelaki itu mengagumi kecantikan dan kemolekan tubuhnya secara berlebihan. Dia seakan akan yakin sepenuh hati bila kecantikan dirinya bisa memberikan kekayaan dan materi yang melimpah ruah. Hal yang tentunya hanya bisa diperolehnya, bila berhubungan dengan pria “mapan”, yang rata-rata telah “berkeluarga”.

Kamaluddin kini harus rela terbaring dalam peristirahatannya yang baru. Cinta butanya terhadap seorang gadis muda telah membuahkan kepahitan tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarganya. Di usia nya yang juga terhitung masih relatif muda, Kamal harus kehilangan nyawa akibat ulah “isteri sirihnya” itu. Sementara itu Agus, juga harus menanggung perbuatannya karena terlena oleh rayuan “sang dewi durga”. Dia kini harus merelakan dirinya mendekam dibalik jeruji karena perbuatannya sendiri. Lastri dan Sandi, hanya bisa menangis sedih meratapi kepergian Kamaluddin ke pangkuan ilaahi. Romi, Ricky dan Toni hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan kehilangan jabatan maupun martabat akibat perbuatan mereka. Lalu kemana gerangan sang dewi durga ???

Apa yang terjadi dengan sang dewi durga??

Siapa cepat, pastilah dia yang menang!”. Bukan Rara, namanya kalau tidak pakai perhitungan matang. Walau usianya sangat muda, namun karena dia titisan dewi wanda betari durga, dia bisa menghilang tanpa meninggalkan jejak. Dia bersama keluarganya telah meninggalkan kampusnya, sejak berita kematian itu terungkap, bahkan dia pun telah meninggalkan rumah kontrakan yang selama ini ditinggalinya bersama keluarganya di di Kampung Kosong RT 01/04 Kelurahan Panunggangan Utara, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang. Dia dan keluarganya mendadak hilang secara misterius, lenyap bagaikan di telan bumi. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan terjadi, pada saat dia menjebak Agus dalam sebuah kamar hotel. Dia bahkan tak lagi bekerja di Padang Golf Modern Land. Dia bahkan juga tidak datang menghadiri pemakaman kamaluddin yang telah menjadi “suami sirihnya” sejak tahun 2007 itu. Dia benar-benar seorang perempuan yang hebat. Seorang perempuan yang mempunyai strategi perang yang jitu dalam memperoleh apa yang diinginkannya. Namun, dia tidak menyadari bahwa dia atas langit masih ada langit. “Walau di dunia dia keluar sebagai pemenang, namun di akhirat nanti lain lagi perhitungannya!”. Terlebih lagi doa orang-orang teraniaya selalu di ijab oleh Allah SWT. Baik Lastri, maupun istrinya Agus ikut menjadi korban akibat perbuatan Rara. Mereka harus kehilangan orang yang selama ini menjadi tumpuan penompang hidup keluarga. Dengan demikian, mereka telah teraniya secara tidak langsung oleh Rara yang telah menjerat para suami mereka lewat cinta palsu yang diberikan Rara. Walau kini, Rara menghilang entah kemana, namun jiwanya tidak akan pernah bisa selamanya tenang. Karena cinta palsu yang diberikan Rara baik pada Kamaluddin maupun Agus telah membuahkan kepahitan bagi banyak orang. Rara, bersiap-siaplah dirimu menghadapi pembalasan dari sang ilaahi!”, begitu tutur Lastri.