Selamat Datang

Selamat datang ....... di WILAYAH COOPERATION LINE ....... “Art Partner” : ....... Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial & Sastra – Cooperation Line of Art Partner ....... (KASSBSS – CLoAP).

Art Partner

Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial dan Sasrta
Cooperation line of Art Partner
KASSBSS - CLoAP

SALAM SENI

KASSBSS - Cloap adalah penghubung dari semua Seni, Sastra, Sosial, Budaya, IPTEK dll.
Bagi anda yang ingin berpartisipasi silakan kirimkan tulisan ataupun yang lainnya, biodata beserta photo ke email :

artpartner.kassbss.cloap@gmail.com

ART PARTNER

Kamis, 24 September 2009

Prosa 2 dari Kavellania


Surat Kepada Luqman 2

Aku ingin bertanya pada awal surat keduaku ini padamu. Apa kabarmu hari ini Luqman? Maksudku apa kabarnya setelah kau membaca suratku kemarin? Ternyata kau masih saja membisu dan aku pun juga membisu. Kita sama-sama membisu bukan, Luqman? Padahal kerinduan telah dingin menyelimuti diriku sebesar minus derajat sekian. Dingin sekali Luqman, hingga aku membeku dan tak lagi menemukan mantel hangat pada kerinduan itu. Sampai kapan kau akan membiarkanku membeku seperti ini, menyiksaku dengan sayatan rindu pada lembar kisah yang telah memudar dulu.

Kumohon Luqman, lihatlah aku, tatap mataku. Apakah kau masih juga membisu sementara rasa cinta dan rindu itu sudah tak bisa kubendung lagi dalam binar mataku. Kumohon... jangan hadirkan hujan lagi di musim kemarau, jangan hadirkan salju lagi di musim gugur. Bernyanyilah untukku, Luqman. Jika kau masih ingin membisu, setidaknya nyanyian itu telah melunaskan dahagaku, Luqman.

Pada dua purnama tengah malam pernah kita lewati bersama dengan seputih tulusnya hati. Aku ingat itu Luqman. Saat aku masih saja terjaga pada malam yang akan segera menjemput pagi dan betapa penuhnya air menyelami pikiranku hingga terlalu sesakkan napasku karena aku tak bisa mengendalikan gelombangnya, kau selalu bersenandung dengan selayak merdunya kicauan burung hantu tengah malam. Suaramu telah membuaiku dan tanpa sadar aku mampu mengendalikan derasnya gelombang dalam pikiranku hingga aku dapat segera menuju alam impian dengan nyenyaknya.

Tanpa sadar roda waktu yang berputar telah membuatku merajut benang suaramu hingga menjadi permandani nada yang begitu indah untuk selalu kudengar. Aku bergantung pada permandani nada itu ketika akan beranjak ke negeri impian.

Ketahuilah Luqman, nyanyian dua purnama itu bagai desir angin sepoi di pantai. Melenakan, memanjakan hingga kuterbuai dalam suara semu. Begitu sejuk dan nyaman. Sekarang aku justru menderita kehilangan suaramu dan hanya bisa menatap kebisuanmu dengan sayatan-sayatan pilu.

Ingatkah Luqman, kau pernah menawarkan mawar putih untuk kau petik kemudian kau berikan kepadaku sebagai tanda jika kau tahu bahwa mawar putih adalah bunga favoritku. Sama seperti kau pernah menuangkan tinta biru ke dalam lukisan tak bernyawa pada kanvas dua purnama itu. Namun hingga tujuh purnama telah berlalu, aku hanya menatap taman bunga, dimana taman bunga itu ada berbagai jenis mawar terutama mawar putih. Tapi aku tak pernah memetiknya karena aku menunggumu untuk memetik mawar putih itu untukku seperti yang pernah kau janjikan. Luqman, suatu saat aku akan menagih mawar putih yang pernah kau janjikan padaku, tapi aku tunggu saat yang tepat, entah kapan, Luqman. Mungkin saat kau tak lagi membisu dan tak lagi berkata bahwa diam adalah bahasa yang indah.

Mendadak hatiku teriris Luqman, menangkap sebuah isyarat darimu, isyarat yang pada dasarnya tak ingin aku ketahui karena sekarang aku menjaga kotak kaca itu agar tidak pecah kembali lagi karenamu. Kau berisyarat bahwa cinta kita bukanlah membatu atau membisu tapi ia hanya mengkristal agar tak jadi virus yang mematikan dan siap menggerogoti tiap inti sel hingga rapuh. Lantas, aku ingin bertanya padamu, apa bedanya mengkristal dan membatu? Kurasa keduanya memiliki makna yang hampir sama meskipun berbeda penafsiran karena kedua benda itu sebetulnya memang berbeda. Aku sadar Luqman, cinta kita sudah tak ada artinya lagi untuk ditimbulkan kembali.

Aku terus berjalan menelusuri malam tanpa batas, menatap purnama yang telah meredup sejak entah. Aku menatap kanvas lembar kisah memudar itu diantara kepekatan malam dengan bersembunyi di balik dinginnya hembusan angin. Dari kejauhan aku melihatmu, Luqman. Melihatmu sedang menghapus tinta itu dengan wajah yang penuh amarah bahkan kamu menusuk lukisan itu hingga mengeluarkan darah segar dan kamu mereguk dengan penuh kenikmatan dalam amarahmu. Setelah itu kau membakarnya hingga menjadi abu berterbangan tanpa sisa sedikit pun.

Aku hanya bisa menatapmu meski aku tak terima kamu melakukan itu. Aku marah Luqman, ketika kamu memandang murah harga lukisan itu, ketika kamu tak memikirkan lagi bagaimana tersayatnya hatiku dan betapa banyak butiran-butiran mutiara keluar dari mataku. Sungguh aku tak terima kamu melakukan itu.

Jika dalam diammu, dalam kebisuanmu, dan dalam alam pikiranmu adalah karena kamu tak pernah mencintaiku, lebih tepatnya cinta kita memang tak pernah ada. Mengapa kau tak mengatakan itu dari awal, Luqman. Bukankah aku sudah bilang berkali-kali bahwa duri itu sudah sangat sering menusukku, bahwa cermin itu sudah sering pecah dan aku bukan seorang perempuan yang lemah seperti yang kamu kira. Kamu tak perlu mengatas namakan agama, mengatas namakan prinsip kalau alasan sebenarnya adalah sama sekali tak ada cinta untukku. Itu namanya kamu munafik dan sama seperti kamu hidup dengan penuh kebohongan. Maka itu aku katakan diammu bukanlah bahasa yang indah.

Dalam amarahmu yang tak terkendali, aku ingat betul kamu menyinggung prinsip hidupku, kedewasaanku, lantas tahu apa kamu dengan apa yang aku jalani. Kenyataannya kamu sudah tidak bisa membuat aku tersenyum kembali, kenyataannya kamu sudah tak bisa menjadi rumah yang selalu aku singgah untuk kembali pulang.

Hidup tanpa harapan bukanlah hidup!

Kamu tertawakan seolah-olah aku ini tak pernah berharap pada Tuhan. Hey, Tuhan adalah harapan terbaikku tapi bukan berarti aku cuma bisa diam menunggu Tuhan menciptakan harapan-harapan untukku. Kamu tahu Luqman, aku tak pernah menjatuhkan harga lukisan semurah itu untukmu di hadapan mereka. Harga lukisan itu terlalu mahal bahkan untuk aku jual kepada miliyuner sekali pun.

Aku sangat benci kebohongan, Luqman. Apalagi setelah angin membawamu pergi karena aku sudah muak dengan semuanya. Hembusan firasat datang kepadaku. Pertanda bahwa angin membawamu pergi bersama kelopak bunga. Aku mendengar senandungmu bersama kelopak bunga itu, kelopak yang selalu kusirami dan kujaga agar tak layu ketika ia berkembang hingga menjadi bunga yang cantik.

Ini surat terakhirku untukmu, Luqman dan aku tak pernah ingin kamu membacanya. Kalaupun kamu membacanya, percuma saja kamu menyiramiku dengan amarah karena saat itu aku sudah menghilang dari kehidupanmu dan membuka lembaran kehidupanku dengan berdamai pada hatiku yang telah bersih dari pecahan-pecahan cermin.

Untukmu Luqman, kata maaf sudah sangat mahal kujual kepadamu dan untukmu kelopak bunga, aku tak akan pernah lagi menjagamu agar tak layu, cukup sampai di sini saja karena kelak diriku adalah orang lain bagimu.

Akhirnya aku dapat menyadari kita tidak ditakdirkan untuk bersama

Jakarta, 14 Juli 2009
11.02 PM

kissing you goodbye
starting a new life
now I know that finally i'm done and through with you
You are not the one who can give me all
kissing you goodbye
no more needs to try
now i know exactly what i wanna do in my life
you will not be there
`cause we have nothing more to share
(Kissing You Goodbye - Jesse McCartney)


Minggu, 06 September 2009

Prosa 1 dari Kavellania


Surat Kepada Luqman

Luqman, telah kuterima dan kubaca puisimu dengan untaian kata yang mampu menyihir hatiku menjadi rapuh, serapuh tongkat yang menyebabkan Sulaiman menghembuskan napas terakhirnya akibat termakan rayap. Untung saja aku bukan tongkat, aku masih mampu bertahan dalam kerapuhanku karena setiap bait pada puisi itu tersimpan secuil kehangatan selayak mantel pada musim dingin di Negeri Sakura. Tahukah Luqman, kehangatan itu telah membuaiku ke dalam harapan, padahal begitu takutnya aku memiliki harapan yang nantinya akan membuatku tersayat kembali karena kamu.


Pada pertengahan bait itu, kamu bercerita tentang kita dan lukisan-lukisan malam yang selalu kita tuangkan dengan kuas dan tinta berwarna biru ke dalam lembar kisah yang sempat memudar dulu. Aku terkesima Luqman, ternyata kamu masih menyimpan lukisan pada dua purnama itu bahkan kamu masih mengingatnya. Sayang sekali, aku tak tahu apakah kamu masih ingin kembali melanjutkan torehan tinta lukisan itu dengan warna selain biru atau mungkin kamu tak ingin melanjutkan lagi karena hatiku dan hatimu telah terluka akibat dari pudarnya lembaran kisah pada lukisan itu.


Luqman, dalam puisi itu kamu berkata bahwa sudah tujuh purnama telah kita lewati tanpa melukis lembaran lusuh itu dan kamu memiliki keinginan untuk mengembalikan binar cinta dalam cahaya mataku. Ketahuilah Luqman, tanpa keinginan pun cinta itu masih bercahaya dalam mataku, bahkan masih bersemayam dan tak jua mau pergi dari kotak kaca hatiku. Sebuah cinta yang dalam kotak kaca telah berproses menjadi sebentuk cermin indah untukku melangkah pada putaran roda-roda kehidupanku kelak. Walau indah tapi ketika cermin itu pecah, sungguh Luqman sakit sekali seolah hampir seluruh tubuhku tertusuk pecahan-pecahannya. Dan saat aku tak mampu lagi menahan perihnya goresan tusukan itu, aku hanya bisa mengeluarkan bulir-bulir kaca mencair dari mataku ini. Kamu tidak tahu kan Luqman tentang itu, karena aku tak ingin kamu tahu. Aku hanya ingin bahwa aku baik-baik saja di matamu dan ketika aku kembali melihat kamu tersenyum, maka itulah penawar dahagaku atas goresan pecahan cermin itu.


Aku tahu kamu bukanlah pujangga yang hanya menjejakan kaki sesaat lalu kemudian pergi tanpa bekas seperti mereka. Aku sadar itu Luqman, bahwa kamu tidak pernah benar-benar pergi meninggalkanku tetapi kenapa aku selalu merasa bahwa kamu telah meninggalkan aku. Kenapa Luqman? Apakah kamu sesungguhnya memang benar-benar pergi atau hanya cintamu yang telah pergi meninggalkan bekas dan hanya ragamu saja yang ada di sisiku untuk menyenangkanku dan membuktikan bahwa kamu tidak benar-benar pergi.


Kamu pergi atau aku yang terluka tanpa kepastian bahwa aku benar-benar dicintai olehmu, Luqman. Aku tak tahu mana yang benar dari keduanya itu. Kadang aku berpikir kenapa harus kamu yang menjadi cermin aku untuk melangkah, kenapa harus kamu yang memberikanku terjemahan lagu favoritku First Love hingga akhirnya aku benar-benar seperti ada dalam lagu itu.


Aku akan ingat bagaimana mencintai seperti yang kau ajarkan kepadaku


Aku menemukan kenyamanan layaknya di rumahku sendiri, lebih tepatnya di kamarku sendiri ketika aku ada bersamamu. Hingga waktu sehari pun kurasa terlalu sempit karena kita selalu saja tak pernah kehilangan topik bahasan apapun. Luqman, kamu adalah tempatku pulang ketika aku resah dan kehilangan arah. Sadarkah Luqman, bahwa aku punya alasan mengapa harus kamu dan aku yakin kamu juga tahu apa alasannya. Kuat sekali alasannya.


Namun kamu selalu saja mematahkan alasan itu, kamu selalu saja membiarkanku bersama mereka, mereka yang kamu sebut pujangga lalu pergi begitu saja tanpa jejak. Padahal kamu sendiri sadar bahwa mereka tidak akan pernah bisa senyaman ketika aku bersamamu. Kenapa kamu bilang padaku bahwa mereka benar-benar akan tercipta untukku dan pada akhirnya kamu berkata bahwa mereka hanya sekedar pujangga. Aku terluka Luqman, aku tersayat. Sadarkah kamu?


Atas dasar itu aku memutuskan untuk membisu, membisu dalam mencintaimu dan menikmati sayatan-sayatan cermin yang telah hancur, mereguk manis darahnya, karena ternyata aku takkan pernah bisa memutilasi rasa cintaku padamu. Aku benci Luqman tapi aku kini hanya bisa diam dan terpaksa menyetujui filosofimu bahwa diam adalah bahasa yang indah


cukup ini saja” Jika itu memang cukup bagimu maka cukup bagiku untuk mempertanyakan apakah cinta itu telah berubah menjadi batu, batu yang dengan mudah kamu lemparkan ke laut untuk kemudian takkan pernah kembali ke darat. Toh kamu tak ingin mengetahui bukan bagaimana kabar cinta diantara kita? Membisu atau membatu?


Luqman, ini satu dari sekian banyak karena tak pernah kutemukan lagi inspirasi sesempurna dirimu.


Cirebon pada awal Juli 2009


‘Cause I miss you, body and soul so strong that it takes my breath away

And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today

‘Cause I love you, whether it’s wrong or right

And though I can’t be with you tonight

You know my heart is by your side

(If You’re Not The One – Daniel Bedingfiel)

Cerpen 1 dari Kavellania


Dilema Dalam Penyesalan

“Aku mau ke rumahmu.” Pinta Hasan dalam percakapan ponsel kami saat itu.

Tiba-tiba saja dia menghubungiku di sela-sela kesibukanku mengedit naskah yang menggunung. Harusnya dia tahu diri sedikit, dong! Ini kan masih jam kerja di Indonesia. Tapi Hasan tetaplah Hasan, sahabat kecilku yang tidak pernah peduli soal waktu untuk berbicara denganku. Aku ingat, pernah dia mengajakku bermain tengah hari bolong saat aku seharusnya tidur siang. Tentu saja orang tuaku menegur. Tapi Hasan hanya nyengir polos.

Aku menghela napas.

“Apa?” ulangku, “ngak denger! Sibuk banget, nih!” Balasku susah payah berusaha menjaga konsentrasi dengan hanya bekerja satu tangan, sementara tanganku yang lain menahan ponsel.

“Aku mau ke rumahmu sekarang, Mel.” Jawab Hasan sedikit mengeraskan suaranya.

Jawaban Hasan tadi spontan membuatku menghentikan kesibukanku sejenak.

“Serius? Kamu emang udah di Jakarta, ya?” Tanyaku masih tak yakin. Harusnya Hasan masih ada di Ishikawa sekarang. Setahuku dia akan kembali ke Jakarta pertengahan Agustus nanti. Bagaimana mungkin, sementara hari ini masih hari terakhir di bulan Juli.

“Iya, aku sudah ada di Jakarta. Baru aja keluar bandara, terus mau langsung ke rumahmu. Numpang istirahat hehehe.” Kudengar dia tertawa renyah.

Aku mendesah napas kesal. “Jangan ke rumahku ah, kamu nginep di hotel aja gih. Rumahku kecil, nggak muat kalo ditumpangin tidur sama kamu.”

“Jutek amat,” protesnya, ‘nggak kangen gitu sama aku?”

Sungguh aku sangat merindukan suaranya. Tidak, lebih dari itu, aku merindukan semua yang ada dalam diri Hasan. Kedewasaannya, keterbukaannya, ketenangannya, dan keteduhan ketika dia menatapku tapi aku sebal dengan caranya yang tiba-tiba seperti ini. Mana kerjaan numpuk lagi.

“Nggak tuh. Suruh siapa kamu nggak kasih kabar dulu kalo kamu mau pulang, heh! Bilangnya pertengahan Agustus, emang hari ini dah bulan Agustus, ya.” Cerocosku sambil garuk-garuk kepada yang tak terasa gatal sama sekali.

“Yaa.. maaf atuh. Nggak maksud gitu kok. Aku juga nggak nyangka kepulanganku bakal dipercepat dan kamu tahu nggak, keluargaku di Bandung juga belum ada yang tahu kalau aku udah pulang.” Hasan menjelaskan.

“Ohhh…” Gumamku datar sambil memeriksa beberapa berkas naskah yang harus kuedit. Sebenarnya, aku senang Hasan pulang lebih awal dari yang diperkirakan. Tapi salahnya sendiri, mengapa dia datang saat kerjaanku menumpuk. Tentu saja dia akan menjadi muntahan emosiku yang terpendam.

“Jadi boleh ya, aku numpang tidur di rumahmu, cuma semalam aja kok.” Pintanya terdengar memelas.

“Nggak boleh titik!!!” Klik, aku mematikan ponsel sepihak dan kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Semenit kemudian kudengar ada pesan singkat masuk dari ponselku, aku membiarkannya tapi bunyi miss call berkali-kali cukup mengganggu. Aku tahu itu dari Hasan. Akhirnya aku memilih membuka pesan singkat itu, ketimbang aku harus terus diganggu dengan suara ponsel tak penting.

Oke aku akan menginap di hotel tapi nanti sore aku tunggu kamu di tempat biasa kita ketemu. Kalo kamu nggak datang, jangan harap bisa ketemu sama aku lagi! Tunggu, enaknya di hotel mana ya?

Aku tersenyum geli menatap pesan singkat itu. Menurutku, ancaman aneh. Aku bisa jamin Hasan tidak akan bisa untuk tak bertemu lagi denganku. Hasan tidak pernah berubah, lebih tepatnya, kami memang tidak pernah berubah. Selalu saja perdebatan dan pertengkaran menjadi agenda komunikasi kami. Padahal aku sadar, kami sudah sama-sama dewasa, sudah tak sepantasnya bertengkar dan berdebat seperti anak kecil. Hanya saja aku sudah terlanjur merasa nyaman untuk menumpahkan emosiku kepada Hasan.

Hasan adalah sahabatku sejak kecil. Dulu, saat kami masih tinggal satu komplek, kami selalu bermain layang-layang bersama di lapangan luas dan aku suka sekali ikutan main sepak bola bersama Hasan. Aku ingat, dia sering sekali mengejekku bahwa anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang apalagi main sepak bola. Kalau sudah begitu, aku pasti marah sama Hasan dan bilang apa bedanya mainan anak perempuan dan anak laki-laki toh sama-sama mainan yang harus dimainkan. Lalu aku langsung pulang ke rumah dan bertekad untuk tidak bermain lagi dengan Hasan.

Beberapa hari kemudian Hasan ke rumahku dan minta maaf lalu mengajakku bermain lagi tapi sayang, walau sudah baikan, kami tetap berdebat dan bertengkar bahkan hal sekecil apapun bisa jadi pemicu pertengkaran kami. Itu semua kebawa sampai kami dewasa.

Pasti aku datang menemui Hasan. Peduli amat dengan pekerjaanku yang menumpuk. Nanti bisa kuselesaikan di rumah. Hebat, seorang Hasan bisa menggagalkan rencana lemburku. Aku tersenyum miris dan langsung membalas pesan singkat darinya untuk merekomendasikan hotel tempat dia menginap dengan asal.

Dari kejauhan aku melihat Hasan sudah duduk di pojok kafe dan sibuk dengan laptopnya. Di meja, sudah ada secangkir cappuccino hangat menemaninya. Aku tersenyum lega menatapnya. Semakin tampan saja dengan kulit putih bersih, rambut pendek, dan balutan kaos berkerah membuatnya terlihat bersinar di mataku.

Sudah enam tahun aku tidak bertemu dengannya, terhitung sejak dia memutuskan untuk kuliah di Jepang dan bekerja di sana. Meski pun tinggal beda negara tapi aku tidak pernah merasa jauh dari Hasan. Kami selalu berkomunikasi melalui media internet. Sesekali Hasan meneleponku.

Aku langsung menghampirinya. “Maaf ya, nunggu lama. Aku sedang banyak kerjaan di kantor.” Kataku sambil duduk di kursi berhadapan dengannya.

“Ehm…” Dia hanya berdehem tanpa menoleh sedikit pun dari laptopnya.

Jelas saja aku sebal dengan sambutannya. Tahu gini, lebih baik lembur daripada bertemu dengan orang menyebalkan seperti Hasan.

“Aku pulang deh.” Kataku sambil beranjak dari kursi.

Hasan langsung menatapku sambil tersenyum nakal. Senyum yang menyebalkan menurutku. “Nggak boleh, aku sudah memesankan es krim kesukaan kamu, masa kamu mau pulang sih. Yaa… rugi dong aku.”

Aku tersenyum mendengar kata ”es krim” itu. Tak menyangka Hasan masih ingat kesukaanku.

“Nyengir,” hardiknya, “duduk lagi atuh, sebentar lagi juga es krimnya datang kok.”

Aku langsung duduk. “Tapi kamu jangan mainin laptop dong. Buat apa coba aku ada di sini kalau kamu masih pacaran sama laptopmu.” Gerutuku.

“Iya maaf, abis kamu lama sih datangnya. Sudah satu jam aku di sini.” Keluhnya sambil memasukan laptop ke dalam tasnya.

Tak lama pesanan es krim datang dan aku menikmati es krim. Rasa dinginnya mampu melunturkan setengah rasa lelah dan penatku akan pekerjaan.

“Dua minggu lagi aku akan menikah.” Katanya datar.

Aku menghentikan kesibukanku menyantap es krim lalu menatapnya. Dari sorot matanya, sama sekali tidak kutemukan kebahagiaan walau setitik. “Secepat itu?”

Dia hanya mengangguk. "Aku tidak mencintai calonku tapi aku berjanji akan menikahinya." Jawab Hasan.

Semua terdengar biasa saja bagiku. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa bahagia apalagi kecewa. Padahal aku tidak ingin Hasan tidak bahagia atas pernikahannya nanti.

"Terus bagaimana kamu akan bahagia?" Tanyaku.

"Dan bagaimana kamu akan bahagia dengan status palsumu?" Dia balik bertanya sementara aku hanya bisa diam.

Aku tersentak dengan pertanyaan Hasan barusan. Aku sendiri tidak mengerti hubungan macam apa yang sedang aku jalani bersama Teguh. Bersama Teguh aku berharap bisa mendapat kenyamanan selayaknya seseorang yang dicintai. Sayang sekali yang kuharapkan ternyata keliru. Teguh sendiri sepertinya tidak mencintaiku dan aku melihat gelagatnya bahwa hubunganku dengannya adalah status palsu baginya.

Padahal aku merasa bahwa tak ada cinta untuk Teguh dari diriku tapi kenapa hati ini sakit sekali. Aku tahu dan aku sadar bahwa aku tak bahagia bersamaya, mungkin Teguh juga tak bahagia bersamaku. Lalu kenapa aku dan Teguh masih bersama? Sungguh aku tak mengerti.

Menikmati segelas es krim rasa chocho vanila lebih baik ketimbang harus menjawab pertanyaan Hasan barusan. Menjawabnya adalah sebuah dilema karena aku dan Hasan memiliki nasib yang sama. Tak ada yang lebih indah dari sebuah hubungan tanpa cinta, yang ada hanya komitmen sebatas kewajiban untuk menepati janji.

“Kenapa nggak dijawab?” Hasan mendesakku.

Aku menelan es krim tanpa bisa menikmatinya lagi. “Tak ada yang perlu dijawab. Kurasa tiap orang punya cara tersendiri untuk bahagia.” Kataku sambil mengaduk-aduk gelas es krim.

“Apa bersama Teguh adalah caramu untuk bahagia sementara dia sama sekali nggak bisa bikin kamu bahagia,” Hasan menatapku tajam, sementara aku balas tatapannya dengan sayu tanpa bisa berkata apapun, “kebahagiaan macam apa yang kamu cari?!” Dia mulai sedikit meninggikan nada suaranya.

“Aku bahagia bersama Teguh!” Tegasku sambil menatapnya tajam. Emosiku kepancing dan sudah bisa dipastikan perdebatan dianatara kami akan terjadi lagi.

“Bagaimana kamu bisa bahagia dengan Teguh, sementara saat kamu sedih, susah, senang, marah dan resah, pasti aku yang kamu cari duluan. Walau selama enam tahun ini jarak kita jauh tapi kamu tetap saja mencari aku meski dalam dunia maya sekali pun,” kali ini mulai ada penekanan dalam nadanya, “bukan Teguh…” Lirihnya.

Kurasakan ada sesuatu yang tergenang dari pelupuk mataku. Aku akui, apapun yang terjadi pada diriku baik dulu sampai sekarang, yang kucari pasti Hasan. Namun aku tak tahu kenapa harus Hasan. Semua mengalir begitu saja, semacam ketergantungan. Hasan selalu membuatku merasa nyaman ketika aku menumpahkan berbagai jenis emosiku, Hasan selalu membuatku merasa teduh dengan sorot matanya. Tapi kurasa ini hanya semacam perasaan nyaman kepada sahabat, tak lebih dari itu.

“Bahkan aku rela menikahi orang yang nggak aku cinta sama sekali, supaya bisa melihat kamu selalu bahagia bersama siapapun itu nantinya…”

“Supaya aku nggak mencari kamu lagi!” Aku memotong pembicaraannya dan menatapnya tajam sambil menahan agar air mataku tidak jatuh.

“Bukan begitu maksudku.” Hasan mengelak.

Aku sudah terlanjur emosi dan tak dapat lagi mengendalikannya. Aku langsung beranjak. “Aku pulang.”

Namun baru beberapa langkah aku berjalan, Hasan menarik lenganku dan membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Untung saja keadaan kafe sedang sepi pengunjung, jadi tak begitu banyak orang yang memperhatikan kami.

Hangat. Itu yang pertama kali kurasakan ketika ada di dalam pelukannya. Kenyaman yang selama ini aku cari ada dalam pelukannya. Aku menumpahkan tangisanku di dadanya. Bahkan aku tak mampu berkata apa-apa selain menangis.

“Aku jatuh cinta padamu sejak kecil, tapi aku sering mengutuk diriku sendiri karena lebih sering buat kamu marah dan nangis. Aku nggak yakin bisa membahagiakan kamu.” Dengan lembut Hasan berkata.

Dalam pelukannya aku bisa merasakan debaran jantungnya lebih cepat dari detak jantung normal. Kurasakan aliran air mataku semakin deras. Apa itu tandanya aku juga mencintainya. Tidak, ini tak boleh terjadi. Aku langsung melepaskan pelukannya dan menyeka air mataku hingga mengering.

“Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan calonmu?” Sebenarnya tak perlu lagi kutanyakan karena aku sudah tahu jawabannya. Bukankah selama ini Hasan sering curhat padaku.

“Dua tahun.”

“Menikahlah dengan dia dan jangan pernah mencintaiku lagi karena aku nggak mungkin mencintaimu.” Entahlah mengapa jantungku seolah ditikam pisau paling tajam ketika aku mengatakannya. Aku tahan rasa sakitku demi kenormalan hidup. Apapun itu, tak pernah terbesit sedikit pun dariku untuk menggagalkan pernikahan orang lain, apalagi pernikahan sahabatku sendiri, sekalipun demi kebahagiaanku.

Menggagalkannya adalah mengecewakan banyak orang. Mengecewakan satu orang saja aku akan merasa sangat bersalah, apalagi mengecewakan banyak orang, mungkin itu akan menjadi beban terberat dalam hidupku.

“Tapi…”

“Aku pulang.” Potongku dan pergi meninggalkan Hasan dengan derai air mata dan rasa sakit yang tak bisa lagi kutahan.

* * *

Gadis kecil itu menangis karena layanga-layangnya nyangkut di pohon. Padahal ia sedang mengenakan rok, jadi tak mungkin ia memanjat pohon itu sementara banyak sekali anak laki-laki yang sedang bermain layang-layang. Ia terus menangis karena tak ada satu pun temannya yang peduli dan mau menolongnya.

“Biar aku yang mengambilnya. Kamu jangan nangis lagi, ya.” Selalu saja anak laki-laki itu yang menjadi pahlawan untuknya, gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum.

“Setelah kuambil layangannya, kamu harus pulang. Tidak ada anak perempuan di sini.” Pintanya.

Namun anak laki-laki itu tak pernah muncul lagi membawa layang-layangnya. Padahal hari sudah semakin sore. Gadis kecil itu pun menghampiri pohon itu namun dia tidak menemukan apa-apa di sana. Tidak layang-layang, tidak juga anak laki-laki yang selalu menolongnya.

Ada genangan air mata ketika aku terbangun dari mimpiku, mimpi masa kecil yang indah bersama Hasan. Aku menghapus air mataku, tak ada waktu untuk memikirkan apa pun termasuk mimpi barusan, aku harus segera ke kantor lalu aku langsung beranjak ke kamar mandi yang ada dalam kamarku.

Kucuran air dari shower tak lagi kurasa sejuk. Entahlah, jantungku berdebar keras dan cepat. Seperti ada sesuatu tapi aku berusaha untuk tidak ambil pusing. Namun ada semacam suara dari dalam hatiku yang mendesak aku untuk mengakui bahwa sebenarnya aku mencintai Hasan.

Lagi-lagi air mataku keluar dengan derasnya diantara buny gemerisik air shower. Aku menangis mengingat kejadian kemarin, saat aku dan Hasan bertemu. Masih kurasakan pelukannya begitu hangat dan membuatku merasa nyaman, ketika aku melepas pelukan itu ada rasa gusar yang sulit aku terjemahkan apa maksud dari rasa gusar itu.

Bagaimana mungkin aku mengungkapkan sesuatu yang terlambat kepada Hasan, bagaimana dengan prinsip kenormalan hidup yang selama ini aku pegang, bagaimana dengan Teguh, dengan calonnya Hasan itu. Tidak adakah cara lain untuk menjadi bahagia tanpa menyakiti atau mengecewakan satu orang pun.

Kali ini mungkin aku harus menomorsatukan egoku. Aku dan Hasan saling mencintai, kalau cinta sudah ada diantara kami, maka tak ada alasan apapun yang bisa mencegah kami untuk bersama sekalipun harus mengorbankan kebahagiaan orang lain.

Selesai mandi, masih dengan memakai baju handuk kimono, aku langsung mengambil telepon wriless untuk menelepon Hasan. Aku sudah bertekad mengungkapkan semuanya karena sesungguhnya aku tak rela Hasan akhirnya menikah dengan orang lain dan aku tak rela Hasan tidak bahagia dengan pernikahannya nanti.

Berkali-kali aku telepon namun ponselnya tidak aktif. Tidak biasanya Hasan mematikan ponsel, kalau pun sedang sibuk dia hanya mematikan nadanya saja. Aku kesal sendiri. Tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada berita di televisi tentang hotel yang baru saja di bom oleh teroris di kawasan Kuningan dan aku mendadak histeris ketika membaca nama salah satu korban yang tewas dalam peristiwa itu. Hasan Kamal.

Mama sampai masuk ke kamar mendengar histerisku menyebut nama Hasan. Mama memelukku sementara aku merasa semakin lemas.

Ada apa, Mela?” Tanya Mama berusaha menenangkanku dalam pelukannya.

Aku hanya bisa menunjuk televisi dengan lemas tanpa mampu berkata apa-apa sambil menangis.

“Hasan…” Lirih mama.

Aku mengangguk lemah sambil melepaskan pelukan mama, menutup mulutku dengan tangan kanan. Berusaha menenangkan diriku.

“Seandainya aku mengijinkannya untuk menginap di rumah, seandainya aku gak menjawab rekomendasi hotel dengan asal, mungkin….” kataku terbata-bata mengungkapkan penyesalanku, “mungkin Hasan masih ada di sini, sarapan bersama kita, Ma…” Lanjutku dan tangisan penyesalanku pecah. Dalan hati aku tetap menyalahkan diriku sendiri. Mama memelukku lagi dengan erat.

Setelah pertemuan kami di kafe itu, aku tak pernah bisa melihatnya lagi. Kalau saja waktu masih bisa berputar kembali, akankah Hasan juga akan kembali menemaniku di sini? Bahkan sampai saat ini aku merasa Hasan masih hidup. Aku selalu termangu di depan laptopku jika malam tiba. Menunggu id Yahoo messenger-nya online, seperti malam-malam sebelumnya, namun dia tak pernah lagi terlihat online.

Jakarta, 2 Agustus 2009

Kamis, 03 September 2009

Edisi Ramadhan - Puisi Photo untuk Rangkai Bunga Bulan Ramadhan

Edisi Ramadhan - Puisi dari ARAska & Translated dari Bunda Diha


Rangkai Bunga Bulan Ramadhan

[untuk bunda Diha]

seribu bunga bertabur ditanganmu bunda
wanginya kau usap dalam do’a untuk nanda
dari seberang lautan nanda menanti sapa lembutmu
besarkan hati dalam prahara hidup
ketulusan bunda goncangkan langit
hingga dewi bulan tersedu haru
arak arakan mega mengiringi khusu

wahai bunda suluh langkahku
bintang bintang sambut senyummu
indah nian bagai seribu bulan
nanda pinta pada yang kuasa
dalam ramadhan bulan rahmat
bunda sehat sepanjang waktu
umur panjang hingga bumi membisu
duhai bunda cahaya jiwaku

(ARAska.Bjb-Kalsel.23.08.09-05:09)


Sekar Rinonce Wulan Ramadhan

sekar sewu warnitinabur ing as tanipun sibu
arumipun dados donga angelus pun putra
pun putra nengga alusing swanten saking sabrang adamel
agenging manah ing salebet ing gesang inkang awrat ontran ontran
ketulusaning sibu adamel geter langi
dewi candra terenyuh nyata
mega mega ing angkasa angering rasa

dhuh sibu suluh pepadhang lampah kawula
lintang lintang mapak esem andika
ingkang kadya sewu rembulan
kawula suwun dhumateng gusti
ing wulan ramadhan sihrahmat
menika sibu tansah pinaringan sehat
panjang yuswa dumugi ning sirep bantala
dhuh sibu sunaring jiwa

(Translated by bunda Diha.26.08.09-22:37)