Selamat Datang

Selamat datang ....... di WILAYAH COOPERATION LINE ....... “Art Partner” : ....... Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial & Sastra – Cooperation Line of Art Partner ....... (KASSBSS – CLoAP).

Art Partner

Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial dan Sasrta
Cooperation line of Art Partner
KASSBSS - CLoAP

SALAM SENI

KASSBSS - Cloap adalah penghubung dari semua Seni, Sastra, Sosial, Budaya, IPTEK dll.
Bagi anda yang ingin berpartisipasi silakan kirimkan tulisan ataupun yang lainnya, biodata beserta photo ke email :

artpartner.kassbss.cloap@gmail.com

ART PARTNER

Kamis, 24 September 2009

Prosa 2 dari Kavellania


Surat Kepada Luqman 2

Aku ingin bertanya pada awal surat keduaku ini padamu. Apa kabarmu hari ini Luqman? Maksudku apa kabarnya setelah kau membaca suratku kemarin? Ternyata kau masih saja membisu dan aku pun juga membisu. Kita sama-sama membisu bukan, Luqman? Padahal kerinduan telah dingin menyelimuti diriku sebesar minus derajat sekian. Dingin sekali Luqman, hingga aku membeku dan tak lagi menemukan mantel hangat pada kerinduan itu. Sampai kapan kau akan membiarkanku membeku seperti ini, menyiksaku dengan sayatan rindu pada lembar kisah yang telah memudar dulu.

Kumohon Luqman, lihatlah aku, tatap mataku. Apakah kau masih juga membisu sementara rasa cinta dan rindu itu sudah tak bisa kubendung lagi dalam binar mataku. Kumohon... jangan hadirkan hujan lagi di musim kemarau, jangan hadirkan salju lagi di musim gugur. Bernyanyilah untukku, Luqman. Jika kau masih ingin membisu, setidaknya nyanyian itu telah melunaskan dahagaku, Luqman.

Pada dua purnama tengah malam pernah kita lewati bersama dengan seputih tulusnya hati. Aku ingat itu Luqman. Saat aku masih saja terjaga pada malam yang akan segera menjemput pagi dan betapa penuhnya air menyelami pikiranku hingga terlalu sesakkan napasku karena aku tak bisa mengendalikan gelombangnya, kau selalu bersenandung dengan selayak merdunya kicauan burung hantu tengah malam. Suaramu telah membuaiku dan tanpa sadar aku mampu mengendalikan derasnya gelombang dalam pikiranku hingga aku dapat segera menuju alam impian dengan nyenyaknya.

Tanpa sadar roda waktu yang berputar telah membuatku merajut benang suaramu hingga menjadi permandani nada yang begitu indah untuk selalu kudengar. Aku bergantung pada permandani nada itu ketika akan beranjak ke negeri impian.

Ketahuilah Luqman, nyanyian dua purnama itu bagai desir angin sepoi di pantai. Melenakan, memanjakan hingga kuterbuai dalam suara semu. Begitu sejuk dan nyaman. Sekarang aku justru menderita kehilangan suaramu dan hanya bisa menatap kebisuanmu dengan sayatan-sayatan pilu.

Ingatkah Luqman, kau pernah menawarkan mawar putih untuk kau petik kemudian kau berikan kepadaku sebagai tanda jika kau tahu bahwa mawar putih adalah bunga favoritku. Sama seperti kau pernah menuangkan tinta biru ke dalam lukisan tak bernyawa pada kanvas dua purnama itu. Namun hingga tujuh purnama telah berlalu, aku hanya menatap taman bunga, dimana taman bunga itu ada berbagai jenis mawar terutama mawar putih. Tapi aku tak pernah memetiknya karena aku menunggumu untuk memetik mawar putih itu untukku seperti yang pernah kau janjikan. Luqman, suatu saat aku akan menagih mawar putih yang pernah kau janjikan padaku, tapi aku tunggu saat yang tepat, entah kapan, Luqman. Mungkin saat kau tak lagi membisu dan tak lagi berkata bahwa diam adalah bahasa yang indah.

Mendadak hatiku teriris Luqman, menangkap sebuah isyarat darimu, isyarat yang pada dasarnya tak ingin aku ketahui karena sekarang aku menjaga kotak kaca itu agar tidak pecah kembali lagi karenamu. Kau berisyarat bahwa cinta kita bukanlah membatu atau membisu tapi ia hanya mengkristal agar tak jadi virus yang mematikan dan siap menggerogoti tiap inti sel hingga rapuh. Lantas, aku ingin bertanya padamu, apa bedanya mengkristal dan membatu? Kurasa keduanya memiliki makna yang hampir sama meskipun berbeda penafsiran karena kedua benda itu sebetulnya memang berbeda. Aku sadar Luqman, cinta kita sudah tak ada artinya lagi untuk ditimbulkan kembali.

Aku terus berjalan menelusuri malam tanpa batas, menatap purnama yang telah meredup sejak entah. Aku menatap kanvas lembar kisah memudar itu diantara kepekatan malam dengan bersembunyi di balik dinginnya hembusan angin. Dari kejauhan aku melihatmu, Luqman. Melihatmu sedang menghapus tinta itu dengan wajah yang penuh amarah bahkan kamu menusuk lukisan itu hingga mengeluarkan darah segar dan kamu mereguk dengan penuh kenikmatan dalam amarahmu. Setelah itu kau membakarnya hingga menjadi abu berterbangan tanpa sisa sedikit pun.

Aku hanya bisa menatapmu meski aku tak terima kamu melakukan itu. Aku marah Luqman, ketika kamu memandang murah harga lukisan itu, ketika kamu tak memikirkan lagi bagaimana tersayatnya hatiku dan betapa banyak butiran-butiran mutiara keluar dari mataku. Sungguh aku tak terima kamu melakukan itu.

Jika dalam diammu, dalam kebisuanmu, dan dalam alam pikiranmu adalah karena kamu tak pernah mencintaiku, lebih tepatnya cinta kita memang tak pernah ada. Mengapa kau tak mengatakan itu dari awal, Luqman. Bukankah aku sudah bilang berkali-kali bahwa duri itu sudah sangat sering menusukku, bahwa cermin itu sudah sering pecah dan aku bukan seorang perempuan yang lemah seperti yang kamu kira. Kamu tak perlu mengatas namakan agama, mengatas namakan prinsip kalau alasan sebenarnya adalah sama sekali tak ada cinta untukku. Itu namanya kamu munafik dan sama seperti kamu hidup dengan penuh kebohongan. Maka itu aku katakan diammu bukanlah bahasa yang indah.

Dalam amarahmu yang tak terkendali, aku ingat betul kamu menyinggung prinsip hidupku, kedewasaanku, lantas tahu apa kamu dengan apa yang aku jalani. Kenyataannya kamu sudah tidak bisa membuat aku tersenyum kembali, kenyataannya kamu sudah tak bisa menjadi rumah yang selalu aku singgah untuk kembali pulang.

Hidup tanpa harapan bukanlah hidup!

Kamu tertawakan seolah-olah aku ini tak pernah berharap pada Tuhan. Hey, Tuhan adalah harapan terbaikku tapi bukan berarti aku cuma bisa diam menunggu Tuhan menciptakan harapan-harapan untukku. Kamu tahu Luqman, aku tak pernah menjatuhkan harga lukisan semurah itu untukmu di hadapan mereka. Harga lukisan itu terlalu mahal bahkan untuk aku jual kepada miliyuner sekali pun.

Aku sangat benci kebohongan, Luqman. Apalagi setelah angin membawamu pergi karena aku sudah muak dengan semuanya. Hembusan firasat datang kepadaku. Pertanda bahwa angin membawamu pergi bersama kelopak bunga. Aku mendengar senandungmu bersama kelopak bunga itu, kelopak yang selalu kusirami dan kujaga agar tak layu ketika ia berkembang hingga menjadi bunga yang cantik.

Ini surat terakhirku untukmu, Luqman dan aku tak pernah ingin kamu membacanya. Kalaupun kamu membacanya, percuma saja kamu menyiramiku dengan amarah karena saat itu aku sudah menghilang dari kehidupanmu dan membuka lembaran kehidupanku dengan berdamai pada hatiku yang telah bersih dari pecahan-pecahan cermin.

Untukmu Luqman, kata maaf sudah sangat mahal kujual kepadamu dan untukmu kelopak bunga, aku tak akan pernah lagi menjagamu agar tak layu, cukup sampai di sini saja karena kelak diriku adalah orang lain bagimu.

Akhirnya aku dapat menyadari kita tidak ditakdirkan untuk bersama

Jakarta, 14 Juli 2009
11.02 PM

kissing you goodbye
starting a new life
now I know that finally i'm done and through with you
You are not the one who can give me all
kissing you goodbye
no more needs to try
now i know exactly what i wanna do in my life
you will not be there
`cause we have nothing more to share
(Kissing You Goodbye - Jesse McCartney)


Tidak ada komentar: