Dilema Dalam Penyesalan
“Aku mau ke rumahmu.” Pinta Hasan dalam percakapan ponsel kami saat itu.
Tiba-tiba saja dia menghubungiku di sela-sela kesibukanku mengedit naskah yang menggunung. Harusnya dia tahu diri sedikit, dong! Ini
Aku menghela napas.
“Apa?” ulangku, “ngak denger! Sibuk banget, nih!” Balasku susah payah berusaha menjaga konsentrasi dengan hanya bekerja satu tangan, sementara tanganku yang lain menahan ponsel.
“Aku mau ke rumahmu sekarang, Mel.” Jawab Hasan sedikit mengeraskan suaranya.
Jawaban Hasan tadi spontan membuatku menghentikan kesibukanku sejenak.
“Serius? Kamu emang udah di
“Iya, aku sudah ada di
Aku mendesah napas kesal. “Jangan ke rumahku ah, kamu nginep di hotel aja gih. Rumahku kecil, nggak muat kalo ditumpangin tidur sama kamu.”
“Jutek amat,” protesnya, ‘nggak kangen gitu sama aku?”
Sungguh aku sangat merindukan suaranya. Tidak, lebih dari itu, aku merindukan semua yang ada dalam diri Hasan. Kedewasaannya, keterbukaannya, ketenangannya, dan keteduhan ketika dia menatapku tapi aku sebal dengan caranya yang tiba-tiba seperti ini. Mana kerjaan numpuk lagi.
“Nggak tuh. Suruh siapa kamu nggak kasih kabar dulu kalo kamu mau pulang, heh! Bilangnya pertengahan Agustus, emang hari ini dah bulan Agustus, ya.” Cerocosku sambil garuk-garuk kepada yang tak terasa gatal sama sekali.
“Yaa.. maaf atuh. Nggak maksud gitu kok. Aku juga nggak nyangka kepulanganku bakal dipercepat dan kamu tahu nggak, keluargaku di
“Ohhh…” Gumamku datar sambil memeriksa beberapa berkas naskah yang harus kuedit. Sebenarnya, aku senang Hasan pulang lebih awal dari yang diperkirakan. Tapi salahnya sendiri, mengapa dia datang saat kerjaanku menumpuk. Tentu saja dia akan menjadi muntahan emosiku yang terpendam.
“Jadi boleh ya, aku numpang tidur di rumahmu, cuma semalam aja kok.” Pintanya terdengar memelas.
“Nggak boleh titik!!!” Klik, aku mematikan ponsel sepihak dan kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Semenit kemudian kudengar ada pesan singkat masuk dari ponselku, aku membiarkannya tapi bunyi miss call berkali-kali cukup mengganggu. Aku tahu itu dari Hasan. Akhirnya aku memilih membuka pesan singkat itu, ketimbang aku harus terus diganggu dengan suara ponsel tak penting.
Oke aku akan menginap di hotel tapi nanti sore aku tunggu kamu di tempat biasa kita ketemu. Kalo kamu nggak datang, jangan harap bisa ketemu sama aku lagi! Tunggu, enaknya di hotel mana ya?
Aku tersenyum geli menatap pesan singkat itu. Menurutku, ancaman aneh. Aku bisa jamin Hasan tidak akan bisa untuk tak bertemu lagi denganku. Hasan tidak pernah berubah, lebih tepatnya, kami memang tidak pernah berubah. Selalu saja perdebatan dan pertengkaran menjadi agenda komunikasi kami. Padahal aku sadar, kami sudah sama-sama dewasa, sudah tak sepantasnya bertengkar dan berdebat seperti anak kecil. Hanya saja aku sudah terlanjur merasa nyaman untuk menumpahkan emosiku kepada Hasan.
Hasan adalah sahabatku sejak kecil. Dulu, saat kami masih tinggal satu komplek, kami selalu bermain layang-layang bersama di lapangan luas dan aku suka sekali ikutan main sepak bola bersama Hasan. Aku ingat, dia sering sekali mengejekku bahwa anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang apalagi main sepak bola. Kalau sudah begitu, aku pasti marah sama Hasan dan bilang apa bedanya mainan anak perempuan dan anak laki-laki toh sama-sama mainan yang harus dimainkan. Lalu aku langsung pulang ke rumah dan bertekad untuk tidak bermain lagi dengan Hasan.
Beberapa hari kemudian Hasan ke rumahku dan minta maaf lalu mengajakku bermain lagi tapi sayang, walau sudah baikan, kami tetap berdebat dan bertengkar bahkan hal sekecil apapun bisa jadi pemicu pertengkaran kami. Itu semua kebawa sampai kami dewasa.
Pasti aku datang menemui Hasan. Peduli amat dengan pekerjaanku yang menumpuk. Nanti bisa kuselesaikan di rumah. Hebat, seorang Hasan bisa menggagalkan rencana lemburku. Aku tersenyum miris dan langsung membalas pesan singkat darinya untuk merekomendasikan hotel tempat dia menginap dengan asal.
Dari kejauhan aku melihat Hasan sudah duduk di pojok kafe dan sibuk dengan laptopnya. Di meja, sudah ada secangkir cappuccino hangat menemaninya. Aku tersenyum lega menatapnya. Semakin tampan saja dengan kulit putih bersih, rambut pendek, dan balutan kaos berkerah membuatnya terlihat bersinar di mataku.
Sudah enam tahun aku tidak bertemu dengannya, terhitung sejak dia memutuskan untuk kuliah di Jepang dan bekerja di
Aku langsung menghampirinya. “Maaf ya, nunggu lama. Aku sedang banyak kerjaan di kantor.” Kataku sambil duduk di kursi berhadapan dengannya.
“Ehm…” Dia hanya berdehem tanpa menoleh sedikit pun dari laptopnya.
Jelas saja aku sebal dengan sambutannya. Tahu gini, lebih baik lembur daripada bertemu dengan orang menyebalkan seperti Hasan.
“Aku pulang deh.” Kataku sambil beranjak dari kursi.
Hasan langsung menatapku sambil tersenyum nakal. Senyum yang menyebalkan menurutku. “Nggak boleh, aku sudah memesankan es krim kesukaan kamu, masa kamu mau pulang sih. Yaa… rugi dong aku.”
Aku tersenyum mendengar kata ”es krim” itu. Tak menyangka Hasan masih ingat kesukaanku.
“Nyengir,” hardiknya, “duduk lagi atuh, sebentar lagi juga es krimnya datang kok.”
Aku langsung duduk. “Tapi kamu jangan mainin laptop dong. Buat apa coba aku ada di sini kalau kamu masih pacaran sama laptopmu.” Gerutuku.
“Iya maaf, abis kamu lama sih datangnya. Sudah satu jam aku di sini.” Keluhnya sambil memasukan laptop ke dalam tasnya.
Tak lama pesanan es krim datang dan aku menikmati es krim. Rasa dinginnya mampu melunturkan setengah rasa lelah dan penatku akan pekerjaan.
“Dua minggu lagi aku akan menikah.” Katanya datar.
Aku menghentikan kesibukanku menyantap es krim lalu menatapnya. Dari sorot matanya, sama sekali tidak kutemukan kebahagiaan walau setitik. “Secepat itu?”
Dia hanya mengangguk. "Aku tidak mencintai calonku tapi aku berjanji akan menikahinya." Jawab Hasan.
Semua terdengar biasa saja bagiku. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa bahagia apalagi kecewa. Padahal aku tidak ingin Hasan tidak bahagia atas pernikahannya nanti.
"Terus bagaimana kamu akan bahagia?" Tanyaku.
"Dan bagaimana kamu akan bahagia dengan status palsumu?" Dia balik bertanya sementara aku hanya bisa diam.
Aku tersentak dengan pertanyaan Hasan barusan. Aku sendiri tidak mengerti hubungan macam apa yang sedang aku jalani bersama Teguh. Bersama Teguh aku berharap bisa mendapat kenyamanan selayaknya seseorang yang dicintai. Sayang sekali yang kuharapkan ternyata keliru. Teguh sendiri sepertinya tidak mencintaiku dan aku melihat gelagatnya bahwa hubunganku dengannya adalah status palsu baginya.
Padahal aku merasa bahwa tak ada cinta untuk Teguh dari diriku tapi kenapa hati ini sakit sekali. Aku tahu dan aku sadar bahwa aku tak bahagia bersamaya, mungkin Teguh juga tak bahagia bersamaku. Lalu kenapa aku dan Teguh masih bersama? Sungguh aku tak mengerti.
Menikmati segelas es krim rasa chocho vanila lebih baik ketimbang harus menjawab pertanyaan Hasan barusan. Menjawabnya adalah sebuah dilema karena aku dan Hasan memiliki nasib yang sama. Tak ada yang lebih indah dari sebuah hubungan tanpa cinta, yang ada hanya komitmen sebatas kewajiban untuk menepati janji.
“Kenapa nggak dijawab?” Hasan mendesakku.
Aku menelan es krim tanpa bisa menikmatinya lagi. “Tak ada yang perlu dijawab. Kurasa tiap orang punya cara tersendiri untuk bahagia.” Kataku sambil mengaduk-aduk gelas es krim.
“Apa bersama Teguh adalah caramu untuk bahagia sementara dia sama sekali nggak bisa bikin kamu bahagia,” Hasan menatapku tajam, sementara aku balas tatapannya dengan sayu tanpa bisa berkata apapun, “kebahagiaan macam apa yang kamu cari?!” Dia mulai sedikit meninggikan nada suaranya.
“Aku bahagia bersama Teguh!” Tegasku sambil menatapnya tajam. Emosiku kepancing dan sudah bisa dipastikan perdebatan dianatara kami akan terjadi lagi.
“Bagaimana kamu bisa bahagia dengan Teguh, sementara saat kamu sedih, susah, senang, marah dan resah, pasti aku yang kamu cari duluan. Walau selama enam tahun ini jarak kita jauh tapi kamu tetap saja mencari aku meski dalam dunia maya sekali pun,” kali ini mulai ada penekanan dalam nadanya, “bukan Teguh…” Lirihnya.
Kurasakan ada sesuatu yang tergenang dari pelupuk mataku. Aku akui, apapun yang terjadi pada diriku baik dulu sampai sekarang, yang kucari pasti Hasan. Namun aku tak tahu kenapa harus Hasan. Semua mengalir begitu saja, semacam ketergantungan. Hasan selalu membuatku merasa nyaman ketika aku menumpahkan berbagai jenis emosiku, Hasan selalu membuatku merasa teduh dengan sorot matanya. Tapi kurasa ini hanya semacam perasaan nyaman kepada sahabat, tak lebih dari itu.
“Bahkan aku rela menikahi orang yang nggak aku cinta sama sekali, supaya bisa melihat kamu selalu bahagia bersama siapapun itu nantinya…”
“Supaya aku nggak mencari kamu lagi!” Aku memotong pembicaraannya dan menatapnya tajam sambil menahan agar air mataku tidak jatuh.
“Bukan begitu maksudku.” Hasan mengelak.
Aku sudah terlanjur emosi dan tak dapat lagi mengendalikannya. Aku langsung beranjak. “Aku pulang.”
Namun baru beberapa langkah aku berjalan, Hasan menarik lenganku dan membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Untung saja keadaan kafe sedang sepi pengunjung, jadi tak begitu banyak orang yang memperhatikan kami.
Hangat. Itu yang pertama kali kurasakan ketika ada di dalam pelukannya. Kenyaman yang selama ini aku cari ada dalam pelukannya. Aku menumpahkan tangisanku di dadanya. Bahkan aku tak mampu berkata apa-apa selain menangis.
“Aku jatuh cinta padamu sejak kecil, tapi aku sering mengutuk diriku sendiri karena lebih sering buat kamu marah dan nangis. Aku nggak yakin bisa membahagiakan kamu.” Dengan lembut Hasan berkata.
Dalam pelukannya aku bisa merasakan debaran jantungnya lebih cepat dari detak jantung normal. Kurasakan aliran air mataku semakin deras. Apa itu tandanya aku juga mencintainya. Tidak, ini tak boleh terjadi. Aku langsung melepaskan pelukannya dan menyeka air mataku hingga mengering.
“Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan calonmu?” Sebenarnya tak perlu lagi kutanyakan karena aku sudah tahu jawabannya. Bukankah selama ini Hasan sering curhat padaku.
“Dua tahun.”
“Menikahlah dengan dia dan jangan pernah mencintaiku lagi karena aku nggak mungkin mencintaimu.” Entahlah mengapa jantungku seolah ditikam pisau paling tajam ketika aku mengatakannya. Aku tahan rasa sakitku demi kenormalan hidup. Apapun itu, tak pernah terbesit sedikit pun dariku untuk menggagalkan pernikahan orang lain, apalagi pernikahan sahabatku sendiri, sekalipun demi kebahagiaanku.
Menggagalkannya adalah mengecewakan banyak orang. Mengecewakan satu orang saja aku akan merasa sangat bersalah, apalagi mengecewakan banyak orang, mungkin itu akan menjadi beban terberat dalam hidupku.
“Tapi…”
“Aku pulang.” Potongku dan pergi meninggalkan Hasan dengan derai air mata dan rasa sakit yang tak bisa lagi kutahan.
* * *
Gadis kecil itu menangis karena layanga-layangnya nyangkut di pohon. Padahal ia sedang mengenakan rok, jadi tak mungkin ia memanjat pohon itu sementara banyak sekali anak laki-laki yang sedang bermain layang-layang. Ia terus menangis karena tak ada satu pun temannya yang peduli dan mau menolongnya.
“Biar aku yang mengambilnya. Kamu jangan nangis lagi, ya.” Selalu saja anak laki-laki itu yang menjadi pahlawan untuknya, gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum.
“Setelah kuambil layangannya, kamu harus pulang. Tidak ada anak perempuan di sini.” Pintanya.
Namun anak laki-laki itu tak pernah muncul lagi membawa layang-layangnya. Padahal hari sudah semakin sore. Gadis kecil itu pun menghampiri pohon itu namun dia tidak menemukan apa-apa di
Kucuran air dari shower tak lagi kurasa sejuk. Entahlah, jantungku berdebar keras dan cepat. Seperti ada sesuatu tapi aku berusaha untuk tidak ambil pusing. Namun ada semacam suara dari dalam hatiku yang mendesak aku untuk mengakui bahwa sebenarnya aku mencintai Hasan.
Lagi-lagi air mataku keluar dengan derasnya diantara buny gemerisik air shower. Aku menangis mengingat kejadian kemarin, saat aku dan Hasan bertemu. Masih kurasakan pelukannya begitu hangat dan membuatku merasa nyaman, ketika aku melepas pelukan itu ada rasa gusar yang sulit aku terjemahkan apa maksud dari rasa gusar itu.
Bagaimana mungkin aku mengungkapkan sesuatu yang terlambat kepada Hasan, bagaimana dengan prinsip kenormalan hidup yang selama ini aku pegang, bagaimana dengan Teguh, dengan calonnya Hasan itu. Tidak adakah cara lain untuk menjadi bahagia tanpa menyakiti atau mengecewakan satu orang pun.
Kali ini mungkin aku harus menomorsatukan egoku. Aku dan Hasan saling mencintai, kalau cinta sudah ada diantara kami, maka tak ada alasan apapun yang bisa mencegah kami untuk bersama sekalipun harus mengorbankan kebahagiaan orang lain.
Selesai mandi, masih dengan memakai baju handuk kimono, aku langsung mengambil telepon wriless untuk menelepon Hasan. Aku sudah bertekad mengungkapkan semuanya karena sesungguhnya aku tak rela Hasan akhirnya menikah dengan orang lain dan aku tak rela Hasan tidak bahagia dengan pernikahannya nanti.
Berkali-kali aku telepon namun ponselnya tidak aktif. Tidak biasanya Hasan mematikan ponsel, kalau pun sedang sibuk dia hanya mematikan nadanya saja. Aku kesal sendiri. Tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada berita di televisi tentang hotel yang baru saja di bom oleh teroris di kawasan Kuningan dan aku mendadak histeris ketika membaca nama salah satu korban yang tewas dalam peristiwa itu. Hasan Kamal.
Mama sampai masuk ke kamar mendengar histerisku menyebut nama Hasan. Mama memelukku sementara aku merasa semakin lemas.
“
Aku hanya bisa menunjuk televisi dengan lemas tanpa mampu berkata apa-apa sambil menangis.
“Hasan…” Lirih mama.
Aku mengangguk lemah sambil melepaskan pelukan mama, menutup mulutku dengan tangan kanan. Berusaha menenangkan diriku.
“Seandainya aku mengijinkannya untuk menginap di rumah, seandainya aku gak menjawab rekomendasi hotel dengan asal, mungkin….” kataku terbata-bata mengungkapkan penyesalanku, “mungkin Hasan masih ada di sini, sarapan bersama kita, Ma…” Lanjutku dan tangisan penyesalanku pecah. Dalan hati aku tetap menyalahkan diriku sendiri. Mama memelukku lagi dengan erat.
Setelah pertemuan kami di kafe itu, aku tak pernah bisa melihatnya lagi. Kalau saja waktu masih bisa berputar kembali, akankah Hasan juga akan kembali menemaniku di sini? Bahkan sampai saat ini aku merasa Hasan masih hidup. Aku selalu termangu di depan laptopku jika malam tiba. Menunggu id Yahoo messenger-nya online, seperti malam-malam sebelumnya, namun dia tak pernah lagi terlihat online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar