Arus Barito
beratus petani buah dan sayuran
menggeser sebeng kecemasan jukungnya
menyinggahkan kelelahan kapal kelotoknya
dari perjalanan panjang: Tamban – Marabahan
tapi lintas Kuwin tertebat rakit batang meranti
di arus lasak sungai Barito ini
bila jukung-jukungmu sudah menepi
dan pengayuh jadi tonggak penambat di air dangkal
kudengar lagi ayun apan dan kucium harum
asap tanakan nasi karang-dukuh
tapi tercemar tuba menayang harapan adalah air
saksikanlah bianglala karbon dioksida
dan bebauan kasturi sia-sia
menggoda bekantan tua
burung-burung sarindit terbakar lidahnya
mencecap air Barito yang cemar
dan asap hitam
kapal-kapal hitam pabrik-pabrik hitam petrodollar
di hilir di hulu menebar sampar
angin mengucurkan hujan asam sianida
menyempurnakan derita; suara kintung dan kurung-kurung
bagai rintihan; angin membawa angkara ke mana-mana
menerpa lanting dan rumah beranjung para raja
air sawah digenangi tahi minyak dan obat pengawet kayu
hutan gilas-rencah pengaplingan keserakahan oleh
tangan-tangan kekuasaan yang sia-sia disembunyikan
dari pandang dunia; kita ini cuma anak angkat
dari beribu kesempatan yang diluangkan kekuasaan
ah Barito, menangislah ke pangkuan penyair saja
atau diamlah, ada cerita bagus tentangmu di televisi
siang ini
(Banjarmasin, 1994)
# Puisi dari drap antologi Lingkungan Kalsel
Adjim Arijadi (Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940). Penyair, dramawan, sutradara, penulis naskah teater, film dan sinetron ini adalah pendiri sekaligus pimpinan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan yang masih eksis hingga kini sejak didirikan tahun 1970-an. Sajaknya terdapat dalam sejumlah antologi bersama, seperti Air Bah (1970), Jabat Hati (1973), Jejak Berlari (1974), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar