MASA AKHIR SEBUAH PRODUKTIVITAS
MENGALI HAKIKAT TAWADHU
Chairil pun Mengalaminya
Ketika seorang konseptor,
telah mengabaikan kemampuan konsepnya,
yang terlupakan.
Ketika sang sastrawan,
telah ditinggalkan kreatifitasnya,
yang terlewati dalam perjalanan.
Ketika sang seniman,
telah melewati kebutuhan seninya,
yang telah lalu dalam kehidupan.
Ketika sang pujangga,
telah terkubur bersama kebuntuan.
Kenyataan diatas sesuatu yang akan ditemui oleh setiap individu manusia. Batas akhir dari sebuah produktivitas, puncak akhir dari suatu perjalanan karier.
Seperti itu pulalah kontrak kehidupan yang harus diemban oleh manusia, ketika mereka telah mencapai klimaks dari perjalanan hidupnya. Semua yang ada didirinya akan menghilang satu persatu. Kemampuan yang semakin menurun, kecantikan dan kegagahan yang semakin memudar, harta yang makin terkikis. Nama yang harum pun dalam perjalan waktu kan kian terlupakan dari benak manusia yang lain.
Waktu merangkak pasti,
Dari pagi mencapai puncak siang,
Pelan dan pasti,
Menemui senja.
Senja kan mengejar cemerlang rembulan,
Hingga mentari usir dia dari singgasananya.
Adakah kuntum bunga yang kan terus mewangi,
Ia kan ditelan oleh napas waktu.
Adakah kemegahan yang kan terus abadi,
Ia kan tenggelam bersama bumi.
Itulah aturan hidup yang harus dijalani manusia. Sebelum terlambat, haruslah kita sadari. Kita adalah hamba – bukan Tuhan. Kita tiada abadi. Entaskan kesombongan sebelum menjadi penyesalan, menyadari keterbatasan diri. Jangan menjadi iblis yang tiada pudar keangkuhannya walau menjadi makhluk terkutuk yang terusir dari kejayaannya.
Ketika kita kehilangan kemampuan dan kreatifitas, usahlah mengungkapkan beribu alasan – menyalahkan apa yang bisa disalahkan. Hanya untuk menghindari tuntutan, hanya untuk mengatakan ke aku an. Yang hanya akan menyemai keingkaran. Hanya satu alasan yang pasti “inilah diriku, aku adalah hamba”.
Dalam dunia sastrawan dapat pula hal tersebut kita lihat, seperti pada diri “Chairil Anwar”. Ketika dia telah menemui masa akhir dari produktivitasnya. Kita dapat membaca sajak Chairil yang dijadikan penutup, yang oleh Takdir Ali Sjahbana diterbitkan dalam antologi yang berjudul “Yang Terampas dan Yang Putus”, oleh Takdir Ali Sjahbana diubah judulnya itu. Judul aslinya ialah “Yang Terampas dan Yang Luput”. Waktu menulis sajak itu, Chairil sudah pada kondisi yang secara produktifitas hampir habis. Dan dia sadar dengan keadaannya itu. Sama seperti penyair Elshott, yang hanya menerbitkan satu kumpulan saja. Sesudah itu ia tidak pernah menulis sajak lagi, karena dia merasa tidak mempunyai kebutuhan untuk menulis sajak kembali. Dan Chairil pada waktu itu berada dalam kondisi yang demikian. Ia mendekati saat-saat penghabisan dan tidak lagi melihat titik terang kedepan. Sehingga waktu itu Rivai Apin mengatakan : “Sudahlah Chairil, kamu mengalah”. Dan sesudah itulah Chairil menulis sajak yang terakhir tersebut. Ia sempat marah mendengarkan omongan orang, bahwa Chairil sudah tidak menulis sajak lagi. Dan kemarahannya itu sering ia tumpahkan dalam bentuk sikap liar dalam menjalani kehidupan.
Untuk itu kita terima kenyataan
sebuah proses alam
proses takdir makhluk,
Menembus batas
makna kehidupan
dalam proses
hakekat Tasawuf – Tawadhu.
(ARAska-Sekumpul-Martapura-Kalsel, Mei 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar