Selamat Datang

Selamat datang ....... di WILAYAH COOPERATION LINE ....... “Art Partner” : ....... Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial & Sastra – Cooperation Line of Art Partner ....... (KASSBSS – CLoAP).

Art Partner

Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial dan Sasrta
Cooperation line of Art Partner
KASSBSS - CLoAP

SALAM SENI

KASSBSS - Cloap adalah penghubung dari semua Seni, Sastra, Sosial, Budaya, IPTEK dll.
Bagi anda yang ingin berpartisipasi silakan kirimkan tulisan ataupun yang lainnya, biodata beserta photo ke email :

artpartner.kassbss.cloap@gmail.com

ART PARTNER

Sabtu, 11 April 2009

Esai dari ARAska

BULAN DI ATAS KUBURAN


Malam lebaran
Bulan di atas kuburan


Adalah puisi dari Opong Sitor Situmorang (dilahirkan di Harianboho, Tapanuli Utara, 2 Oktober 1924), diantara sekian banyak puisi beliau, puisi inilah yang telah sekian tahun hingga kini masih tetap melahirkan beragam penafsiran dari masyarakat sastra maupun masyarakat umum. Dari hasil pembicaraan dengan Opong beberapa waktu yang lalu di kantin TIM-Jkt (saat acara Pekan Presiden Penyair), terungkaplah latar penyebab lahirnya dan makna sebenarnya dari penulisnya sendiri terhadap puisi “Malam lebaran – Bulan di atas kuburan”.

Untuk puisi tersebut, kata Pak Micky Hidayat (Banjarmasin) berkata ; “Aku belum menemukan maksud penulisnya, karena sangat filsafat sekali, adanya kontradiksi fenomena alam. Pada malam lebaran bulan belum muncul, sedang dalam puisi tersebut bulan telah ada.”

Ketika aku bertanya dengan Bunda Diah Hadaning (Bogor) akan pengertian/ pemaknaan terhadap puisi tersebut sebelum mengetahui latar kejadian dari penulisannya, Bunda berkata: “Pada awalnya aku menangkap dalam puisi tersebut akan keheningan yang syahdu. Puisi itu sangat ekonomis kata, dengan kata yang ekonomis itu bisa dijabarkan menjadi sebuah cerpen ataupun novel.”

Bang Dimas Arika Mihardja (Jambi), melalui sms, berkata ; “Ada yang menafsirkan puisi itu, kebahagiaan di atas penderitaan, bahagia mengatasi derita. Sitor melihat kuburan di malam lebaran, di malam lebaran orang-orang bahagia lantaran bisa keluar dari derita sebulan, keindahan mengatasi penderitaan, dll.”

Bang Sindu Putra (NTB), dalam tulisannya antara lain berkata ; “Sebuah puisi sederhana yang maha rumit, konfleks dan mengundang multi tafsir. Sajak ini dapat diterjemahkan keadaannya, bagaimana seorang pada saat malam lebaran, di mana lebaran terjadi pada saat bulan mati sehingga langit gelap dan tanpa bulan sama sekali. Sajak ini mengingatkan untuk menyadari terus-menerus bulan yang ada di atas kepala itu merupakan sebuah kuburan bagi jiwa yang lelah, bagi tubuh yang lemah. Bulan, menjadi tempat hasrat mendongkakkan impian, merupakan kuburan untuk segala yang tanpa cahaya. Segala yang belum menemukan pencerahan. Pembaca dituntun untuk tidak mendongkak takabur, untuk hanya melihat keatas. Namun malam lebaran semestinya dijadikan momentum menundukkan diri, sujud tafakur, melihat bumi, tanah , melihat diri sendiri, dan kenyataan hidup yang riil, yang ada dibawah langit. Dengan pengertian yang sederhana, sajak ini mengajak untuk memaknai lebaran sebagaimana filosofinya sebagai kelahiran kembali, menjadi fitri.

Bang Irmansyah (Jkt), melalui sms, berkomentar; “Awalnya memang mustahil, bulan tak bakal ada : baru syawal pertama. Namun cahaya tak dapat di pisahkan begitu saja dari bulan.”

Sobat Rian (Purwokerto), melalui sms, berkata; “Sebuah puisi singkat tetapi panjang , membutuhkan perjalanan batin yang sangat luar biasa bagi penciptanya. Sitor memaknai malam suci sebagai malam puncak bagi seluruh ibadah dan sebagai awal kehidupan baru bagi manusia, seperti halnya kematian yang merupakan kehidupan baru di alam baru bagi manusia.”

Aku bertanya dengan Opong; “Sampai sekarang puisi Opong (malam lebaran – bulan diatas kuburan) selalu ditafsirkan secara beragam, terbanyak penafsirannya secara religi. Apa arti sebenarnya! dari Opong sendiri ?

Opong Sitor Situmorang tertawa, beliau menghentikan suapan-suapan dari semangkuk bakso yang ada dihadapannya. Abah Arsyad Indradi (Banjarbaru) menyela; “Selesaikanlah dulu santapan baksomu, baru bercerita.” Opong membantah; “Jangankau minta aku teruskan makan kalau aku mau bercerita-lah”. Setelah menyeka mulutnya dengan tisyu, Opong kembali berkata; “Aku juga heran dengan bermacam penafsiran orang terhadab puisiku itu, tetapi aku senang saja karena aku tidak ambil peduli, sebenarnya puisi itu terlahir pada saat aku pulang ke Indonesia dari negeri Belanda, saat itu malam lebaran, aku ingin mengunjungi seorang sahabat dan mampir kerumahnya, tetapi sahabat yang ingin kutemui itu tidak ada di rumah. Lalu aku kecewa dan pada perjalanan pulang aku lewat di depan sebuah kuburan belanda. Kemudian lahirlah puisi tersebut.

Astaga Opong, betapa sederhana pengertian puisinya. Hanya karena kecewa tidak bisa bertemu dengan teman lama. Terlepas dari semua itu, sebuah pemaknaan dan pengertian akan sebuah puisi atau sajak atau syair, kita kembalikan kepada pribadi masing-masing, tergantung dari pada latar pendidikan maupun sifat individu manusia. Tetapi hal yang paling parah dan harus dihindari adalah ketika memaknai sebuah puisi yang berlandaskan pada kedangkalan pemikiran atau kefanatikan akan sesuatu oleh individu atau kelompok tertentu, kemudian melahirkan tuduhan penyalahan dengan mengikut sertakan emosi yang meledak atau yang lebih ekstrim lagi hingga “pengkafiran”. Di balik kata-kata ada makna, dibalik kata-kata ada pengertian yang berbeda dari yang tersurat.

Bang Sutardji Calzoum Bachri, berkata; “Semakin beragam pemaknaan dan pengertian terhadap suatu puisi maka semakin kayalah puisi tersebut, bahkan salah pengetikan dalam sebuah karya puisi juga merupakan nilai tambah bagi pemaknaan puisi tersebut. Memang pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya feeling dzauqnya pada lembah lembah dasar dari duka suka kemanusiaan dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi…., Profesi penyair adalah menciptakan sajak, dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaan, empati, simpati dan sebagainya dan berikutnya realisasi psikologis ini berkembang menjadi realisasi kongkrit di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut. Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk cenderung bisa tergoda untuk bebas tidak memperdulikan pertanggung-jawaban terhadap karya-karyanya. Ruang bebas itulah yang diberi peringatan oleh Tuhan agar kebebasan yang dimiliki penyair selalu dikaitkan pada iman (kecuali para penyair yang beriman), yang pada hemat saya kalau ditafsirkan secara duniawi bisa berarti para penyair serius yang selalu melandaskan dirinya pada kebenaran dalam meningkatkan atau mengembalikan martabat manusia sebagai makhluk termulia di bumi. Dalam fungsinya sebagai karya yang ingin melandaskan dirinya pada kebenaran dan martabat manusia yang luhur itulah puisi menjadi penting. Penting dilihat dari sisi manusia sebagai individu. Puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia, dan penting dari sisi sosial puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoritis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaimana firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya.

(ARAska-2007)

Tidak ada komentar: