Bercermin dari suatu pengalaman yang terjadi di daerah Kalsel.
Seorang tokoh penyair Kalsel mengumpulkan karya penyair Kalsel lainnya dalam suatu antologi puisi, apa yang dilakukan beliau dalam proses pengumpulan tersebut; Tentu saja beliau menjelaskan tujuan dari pengumpulan puisi tersebut kepada penyair yang diminta untuk menyumbangkan puisinya. Menjelaskan bahwa antologi puisi ini bukan untuk tujuan komersil, tapi untuk kegiatan sosial, dan buku antologi tersebut akan dibagikan untuk sekolah dan perpustakaan-perpustakaan, demi untuk menggairahkan generasi muda terhadap puisi. Dan hal yang paling utama beliau jelaskan bahwa penyair yang puisinya dimuat dalam buku tersebut juga mendapatkan hak dari bukunya, yaitu buku antologi puisi ini bila sudah dicetak juga akan diberikan/ dikirimkan kepada penyair tersebut sebagai arsip pribadi.
Dalam proses penggalangan dana untuk biaya cetak, sudah tentu dari siapa-siapa saja donator yang membantu akan diberikan laporannya kepada penyair yang puisinya dimuat dalam buku, beserta rincian dananya.
Pada saat proses akan naik cetak, sekali lagi beliau menghubungi para penyair yang puisinya telah terkumpul, dan beliau kembali menjelaskan aturan yang diberlakukan, kemudian kembali menanyakan apakah penyair tersebut bersedia (ini beliau lalukan melalui sms maupun telepon langsung kepada lebih dari 50 penyair, bukan cuma melalui surat menyurat, serta ini semua dilakukan ditengah kesibukan beliau yang padat). Hingga akhirnya ada beberapa penyair yang tidak bisa dihubungi, maka beliau terpaksa membatalkan puisi dari penyair itu untuk dimasukkan dalam buku antologi. Ini semua dilakukan untuk menjaga adanya hal-hal yang tidak diinginkan suatu saat nanti bila terjadi komplain dan sebagai penghormatan terhadap hak intelektual suatu karya.
Inilah suatu kepribadian dan sikap yang pantas diteladani dalam menghormati hak orang lain, terutama sesame penyair/ sastrawan.
Aturan yang jelas, dan administrasi yang jelas wajib diberikan/ dijelaskan jauh-jauh hari sebelum proses itu terjadi, agar semuanya menjadi terang benderang, bukan pada saat semuanya telah terjadi.
Semua proses yang menyulitkan ini dilakukan karena sudah sering terjadi didaerah Kalsel, seseorang yang mengumpulakan suatu puisi untuk dimuat dalam antologi, tapi tidak meminta ijin dari yang punya puisi, atau meminta ijin juga tapi tidak memberikan aturan yang jelas, misalnya; mengatakan bahwa tujuannya adalah sosial, namun pada kenyataannya puisi tersebut malah diperjualkan ditempat umum, dan lebih parah lagi sang penyair yang mempunyai puisi dalam buku tersebut tidak mendapatkan hak arsip pribadi dari buku tersebut.
Dalam sekala lebih luas (Nasional), seorang temanku bercerita, ia melihat pengumuman pada suatu milis, bahwa telah dicetak suatu antologi puisi dengan daftar penyairnya. Kawanku tadi menghubungi salah satu penyair nasional dari Bali tersebut (yang dikenalnya) yang puisinya ada di dalam antologi itu, untuk mengucapkan “selamat” (melalui sms). Tapi apa balasan sms/ jawaban dari sang penyair: “aku tidak tahu akan hal itu dan tidak pernah dikonfirmasi, dimana kamu melihat pengumumannya”.
Ini adalah hak cipta intelektual yang telah dilanggar, semulia apapun tujuannya.
Maka aturan yang jelas dan admin yang jelas adalah hal yang wajib.
HAK INTELEKTUAL DALAM SUATU KARYA, bagian 1
Beberapa waktu yang lalu, aku ada kontak komunikasi melalui media internet, dengan beberapa orang yang membentuk suatu kelompok yang membuat suatu program buku-buku solidaritas kemanusiaan/ sosial lintas negara, buku-buku itu dijual lalu keuntungannya digunakan untuk membantu kemanusiaan. Suatu tujuan yang mulia, tentu saja aku mendukung hal ini, dan siap bekerja sama. Tetapi, untuk kelanjutan yang lebih baik, aku mendiskusikan dengan beberapa kawan penyair tentang hal ini, melihat dan meninjau dari beberapa pengalaman yang terjadi, ketika suatu karya dieksploitasi walau dengan tujuan kemanusiaan oleh suatu kelompok ataupun individu, apakah hak dari penulis/ penyair itu dipedulikan. Maka untuk lebih jelas tentang hak tersebut, kembali kutanyakan pada mereka yang membuat buku-buku kemanusiaan tersebut tentang hak intelektual dari penulis/ penyair yang karya mereka ada dalam buku tersebut, paling tidak hak mereka dihormati dengan mengirimkan buku tersebut kepada penulis/ penyair yang karya mereka ada dalam buku tersebut, sebagai arsip pribadi, dan mereka tidak menjawab, hingga sekarang.
Melihat kenyataan ini, seorang rekan penyair berkomentar; “Seniman dan karya mereka memang selalu menjadi objek eksploitasi dan diperkosa hak intelektual mereka, walau dengan alasan kemanusiaan, penyair memang berjiwa sosial, mereka rela menyumbangkan karya mereka tetapi janganlah hak mereka juga disosialkan.”
Suatu kesimpulan yang didapat; Tidak adanya aturan yang jelas terhadap hak intelektual suatu karya, bagi penulis/ penyair yang ada dalam program tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar